Nikah Siri danTanpa Kehadiran Wali dalam Hukum Islam


Nikah Siri danTanpa Kehadiran Wali dalam Hukum Islam

Pernikahan yang sah menurut Hukum Islam adalah apabila telah memenuhi rukun dan syarat sahnya perkawinan. Pernikahan atau perkawinan yang dilakukan tanpa memenuhi rukunperkawinan adalah batal demi hukum. Apabila dilanjutkan maka hubungan itu adalah zinah. Zinah merupakan suatu perbuatan yang menimbulkan dosa besar. Si pelaku zinah akan dikenai hukuman rajam atau had yaitu suatu hukuman dalam bentuk dilempari batu hingga dia meninggal. Hukuman rajam ini pernah diberikan oleh Allah kepada umat umat terdahulu. Salah satu yang diuraikan dalam Al Qur’an adalah adanya hukuman dilempari batu neraka kepada kaum nabi Luth yang telah melakukan penyimpangan sex berupa melakukan homoseksual, di kota Sodom.
Rukun perkawinan  ada empat yaitu adanya calon mempelai, wali, saksi dan ijab kabul. Sementara sebagian ulama ada yang menambah dengan rukun ke lima yaitu pemberian mahar. Rukun perkawinan ini sifatnya adalah kumulatif, artinya keempat rukun harus terpenuhi untuk keabsahan perkawinan. Tanpa adanya salah satu rukun maka perkawinan itu tidak sah. Perkawinan yang tidak sah tetapi hubungan tetap berlanjut adalah zinah.
 Setiap rukun perkawinan ada ketentuan syarat perkawinan yang mengikuti rukun. Dalam tulisan ini pembahasan hanya dibatasi pada rukun kedua dan ketiga yaitu adanya wali dan saksi dalam perkawinan. Arti wali adalah penguasaan penuh yang diberikan oleh gama kepada seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau barang penguasaan dan perlindungan ini disebabkanoleh :
a.       Pemilikan atas barang atau orang, seperti perwalian atas budak yang dimilki atau barang-barang yang dimiliki,
b.      Hubungan kerabat atau keturunan, seperti perwalian seseorang atas salah seorang kerabatnya atau anak-anaknya,
c.       Karena memerdekakan budak, seperti perwalianseseorang atas budak-budak yang telah dimerdekakannya,
d.      Karena pengangkatan, seperti perwalian seseorang kepala negara atas rakyatnya atauperwalian seorang pemimpin atas orang-orang yang dipimpinnya
Syarat seseorang dapat menjadi wali yaitu sudah mukhallaf/baliqh, muslim, berakal sehat, laki-laki dan adil. Berdasarkan QS Al Imran : 28, yaitu 
ž
Janganlah orang-orang mu'min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).

Adapun wali dibedakan dalam tiga macam yaitu wali nasab, wali hakim dan wali muhakam. Wali nasab adalah anggotakeluarga laki-laki dari calon mempelai perempuan yang mempunyai hubungan darah patrilinial dengan calon mempelai perempuan. Misalnya ayah, kakek, saudara laki-laki, paman dan seterusnya. Menurut Imam Syafi’I wali yang jauh tidak boleh menjadi wali apabila wali yang dekat masih ada. Wali hakim adalah wali yang ditunjuk dan diberi kuasa oleh kepala negara. Di Indonesia wali hakim telah dikuasakan oleh presiden kepada menteri agama dan kepada pegawai pencatat nikah. Wali muhakam adalah wali yang ditunjuk oleh mempelai perempuan yang tidak ada hubungan saudara dan juga bukan penguasa.
Dalam penentuan wali ini harus berurutan, artinya apabila ada wali nasab maka tidak boleh diganti wali hakim atau wali muhakam. Wali nasab baru dapat berpindah ke wali hakim apabila :
a.       Wali nasab memang tidak ada;
b.       Wali nasab bepergian jauh atau tidak ada tempat tetapi tidak memberi kuasa kepada wali yang lebih dekat yang ada;
c.       Wali nasab kehilangan hak perwaliannya;
d.      Wali nasab sedang berihram haji / umrah;
e.       Wali nasab menolak untuk bertindak sebagai wali;
f.        Wali nasab menjadi mempelai laki-laki dari perempuan yang ada dibawah perwaliannya. Hal ini terjadiapabila yang kawin adalah seorangperempuan dengan saudara laki-laki sepupunya, kandung atau seayah

Kenyataan yang terjadidi masyarakat, sering mengabaikan syarat wali. Ada anggapan pokoknya ada wali maka perkawinan adalah sah. Tanpa memperhatikan macam walinya. Sering terjadi perkawinan antara sepasang muda – mudi yang tidak direstui oleh keluarganya atau ayahnya / wali nasabnya, dengan langsung lari ke kyai untuk minta dikawinkan. Alasan mereka untuk mencegah zinah. Hal ini tidaklah benar. Seorang perempuan dapat nikah apabila ada wali nasabnya. Kecuali apabila wali nasab menolak untuk menjadi wali baru perwalian dapat beralih ke wali hakim. Jadi tidak dapat langsung beralih ke wali muhakam. Apabila tidak ada wali nasab dan wali hakim maka barulah wali muhakam berhak sebagai wali.
Perwalian juga menjadi masalah penting bagi calon mempelai perempuan yang tidak mempunyai wali nasab karena ibunya telah hamil terlebih dahulu sebelum melangsungkan perkawinan. Dalam hal ini wali dari anak perempuan (dari wanita yang hamil lebih dahulu) adalah wali hakim atau wali muhakam.
Apabila suatu perkawinan telah memenuhi rukunnya maka perkawinan itu adalah sah. Tidak menjadi soal apakah perkawinan itu dicatatkan ke KUA atau tidak. Suatu perkawinan yang dilakukan hanya memenuhi rukun dan syarat sahnya perkawinan secara agama tanpa melaluipencatatan di KUA dinamakan nikah siri.  Pencatatan yang dilakukan ke KUA pada dasarnya tidak mengurangi keabsahan perkawinan. Pencatatan perkawinan adalah syarat sahnya perkawinan dari sudut hukum Islam