Telaah kritis terhadap UU no 3 Th 2006, tentang peradilan Agama dan efektifitasimplementasinya

Undang-undang nomor 3 tahun 2006 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama membawa perubahan besar terhadap Peradilan Agama. Undang-undang tersebut selain memperkokoh kedudukan Peradilan Agama, jug amenambah kewenangan absolut Peradilan Agama. Pasal 49 menyebutkan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwewenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah. Salah satu kegiatan ekonomi syariah adalah bank syariah. Masalah yang timbul kemudian adalah setelah lahir Undang-undang Nomor 21 tentang Perbankan Syariah. Pasal 55 ayat (2) dan penjelasannya menyatakan : Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaiaan sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad. Yang dimaksud dengan “penyelesaian sesuai dengan isi akad” adalah upaya sebagia berikut : (a) musyawarah, (b) mediasi perbankan, (c) melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain dan/atau (d) melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Ketentuan tersebut, mengisyaratkan adanya keleluasaan dalam menentukan pilihan forum penyelesaian sengketa di bidang perbankan, sedangkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 menyatakan dengan tegas sengketa ekonomi syariah menjadi kewenangan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama. Masalah lain adalah ketika sengketa ekonomi syariah diselesaikan oleh Badan Arbitrase Syariah, pengadilan di lingkungan peradilan apa yang berwenang melaksanakan putusan badan arbitrase tersebut.[1]

Negara Indonesia adalah negara hukum. Tujuan hukum pada dasarnya memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Kesejahteraan hanya dapat terwujud apabila keadilan ditegakkan. Friedman mengutarakan tiga unsur sistem hukum, yaitu struktur, substansi dan budaya hukum. Berdasarkan pendekatan itu, sistem hukum bukan sekedar kumpulan asas dan kaidah hukum, melainkan mencakup pula kelembagaan dan budaya hukum.

Berdasarkan hasil telaah bahan pustaka, baik peraturan perundang-undangan, tulisan para pakar dan makalah-makalah dari berbagai sumber dan dengan menggunakan metode deskriptif analisis, masalah-masalah tersebut dapat diurai.

Kedudukan Peradilan Agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di bwah Mahkamah Agung, tercantum dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Undang-undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Peradilan Agama. Kewenangannya berdasarkan pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, selain yang disebutkan dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1989, juga berwenang melaksanakan putusan Badan Arbitrase Syariah atas permohonan salah satu pihak apabila putusan badan arbitrase tersebut tidak dilaksanakan secara sukrela. Tatacara pelaksanaan putusan Bada Arbitrase Syariah sesuai dengan ketentuan pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap.[2]

Lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 sebagai amandemen terhadap Undang-undang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989 tersebut, membawa implikasi baru dalam sejarah hukum ekonomi Islam di Indonesia. Pengesahan terhadap Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (PA), menjadikan Peradilan Agama mendapatkan tambahan kewenangan yang sangat strategis. Terbitnya undang-undang tersebut memperlihatkan bahwa upaya-upaya formalisasi hukum Islam –khususnya dalam bidang ekonomi- sangatlah memungkinkan. Tulisan ini akan melihat lebih jauh megenai peluang dan tantangan formalisasi hukum ekonomi Islam secara umum, di samping melihat apa yang harus dilakukan menyikap perluasan kewenangan PA dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syariah.

Gambaran Umum Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Agama.

1. DasarHukumKelembagaan
Dasar hukum pembentukan organisasi Pengadilan Tinggi Agama diatur dalam Keputusan Mahkamah Agung Nomor : KMA/004/SK/II/1992 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Agama.

2. TugasPokok
Tugas pokok Pengadilan Agama adalah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.

Untuk hal ini, saya hanya memberi contoh tugas pokok dan fungsi Pengadilan Tinggi Agama antara lain :

a. Mengadili perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat Banding.

b. Mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Agama di daerah hukumnya.

c. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya apabila diminta.

d. Melakukan pengawasan terhadap jalannya Peradilan di tingkat pertama.

3. Fungsi
Untuk menyelenggarakan tugas pokok tersebut di atas, Pengadilan Tinggi Agama mempunyai fungsi sebagai berikut:

a. Memberikan pelayanan kepada masyarakat dibidang hukum Islam dalam wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama.

b. elaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap aparatur dan jalannya Peradilan Agama dalam wilayah hukumnya.[3]

Menurut Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 144/KMA/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan pada Pasal 1 Ketentuan Umum, yang dimaksud dengan :

1. “Informasi” adalah segala sesuatu yang dapat dikomunikasikan atau yang dapat menerangkan sesuatu dalam bentuk atau format apapun;

2. “Pemohon” adalah orang yang mengajukan permohonan informasi kepada pejabat Pengadilan;

3. “Orang” adalah orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum;

4. “Pengadilan” adalah pengadilan seluruh lingkungan dan tingkatan peradilan, kecuali secara tegas dinyatakan lain;

5. “Hakim” adalah hakim seluruh lingkungan dan tingkatan peradilan;

6. “Pegawai” adalah pegawai negeri yang ditempatkan di Pengadilan dan mendapatkan gaji atau honor dari negara.[4]

Hukum bukanlah suatu lembaga yang sama sekali otonom, namun berada pada kedudukan yang saling terkait dengan sektor-sektor kehidupan lain dalam masyarakat. Salah satu segi dari keadaan yang demikian itu adalah bahwa hukum harus senantiasa melakukan penyesuaian terhadap tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh masyarakatnya. Oleh karena itu, hukum merupakan dinamika. Politik hukum merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya dinamika yang demikian, oleh karena itu ia diarahkan kepada iure constituendo (ius constitutum) hukum yang seharusnya berlaku. Dalam politik hukum, ada dua dimensi yang terkait dan tak terpisahkan, yaitu dimensi filosofis-teoritis dan dimensi normatif-operasional. Politik hukum dalam dimensi filosofis-teoritis merupakan parameter nilai bagi implementasi pembangunan dan pembinaan hukum di lapangan. Dimensi normatif-operasional merupakan cerminan kehendak-kehendak sosial penguasa



[1] Drs.Nadang Nurdin.Realita Hukum dalam Peradilan Agama(Jakarta:KaryaPrakasaPerdana,2000),12-13

[2] Soedjono Dirdjosisworo. 1999. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada), hlm. 49.

[3] Dunn William, N.,Pengantar Analisis Kebijakan Publik (terjemahan),( Yogyakarta ,Gajah Mada University Press)1998

[4] Ibid ,224

0 Response to "Telaah kritis terhadap UU no 3 Th 2006, tentang peradilan Agama dan efektifitasimplementasinya"

Posting Komentar