Huzbu Tahrir dan Majelis Mujahidin Indonesia
I. Hizbu Tahrir
A. Sejarah Berdirinya Hizbut Tahrir
Hizbut Tahrir didirikan oleh Syaikh Taqiyuddin Nabhani (1909-1979 M.) -kelahiran Ijzim, sebuah kampung didaerah Haifa Palestina- di Yarussalem pada tahun 1952 . dengan konsentrasi penuh ia memimpin partai, menerbitkan buku dan brosur-brosur yang secara keseluruhan merupakan sumber pengetahuan pokok partai. Sepeninggal Nabhani, Hizbib dipimpin oleh Abdul Qadim Zallum.
Sejak pendiriannya, Hizbut Tahrir mengklaim dirinya sebagai partai politik. Namun berbeda dengan partai politik pada umumnya, Hizbut Tahrir adalah partai politik Islam yang berbasis pada transnasionalisme. Pengakuan ini berhubungan dengan cita-cita politiknya yang mengupayakan seluruh Dunia Islam berada dalam satu system kekuasaan politik yang disebut Khilafah. Hizbut Tahrir berusaha memerdekakan negeri-negeri kaum muslim diseluruh dunia dari cengkraman berbagai ideologi termasuk di dalamnya nasionalisme yang dianggap bertentangan dengan agama.
Hizbut Tahrir (sesuai namanya) berprinsip dasar pada kebebasan yaitu terbebas dari doktrin-doktrin Islamisme yang lama serta menolak pemimpin yang dipilih berdasarkan sistem demokrasi termasuk pemilihan umum dengan melakukan propaganda bertujuan untuk menggabungkan semua negara Muslim untuk melebur ke dalam sebuah negara yaitu berdasarkan doktrin Sistem Islam yang disebutnya sebagai Negara Islam atau Unitariat Khalifah. Hizbut Tahrir bermaksud membangkitkan kembali umat Islam dari kemerosotan yang amat parah, membebaskan umat dari ide-ide, sistem perundang-undangan, dan hukum-hukum kufur, serta membebaskan mereka dari cengkeraman dominasi dan pengaruh negara-negara kafir. Hizbut Tahrir bermaksud juga membangun kembali Daulah Khilafah Islamiyah di muka bumi, sehingga hukum yang diturunkan Allah Swt dapat diberlakukan kembali.
Dalam beberapa dasawarsa terakhir, Hizbut Tahrir mengalami perkembangan yang sangat pesat. Menurut catatan, Hizbut Tahrir berkembang di lebih dari empat puluh Negara termasuk Inggris, Jerman, Amerika Serikat, dan Negara bekas Uni Soviet. Penyebab pesatnya perkembangan ini disebabkan beberapa factor:
Pertama; Hizbut Tahrir memiliki fikrah yang cemerlang, jernih, dan murni yang menyebabkan pihak-pihak tertentu terutama kalangan muda, tertarik. Seperti diketahui kalangan muda Islam pada umumnya menganggap Islam yang ada sekarang ini mandul, tidak mampu menyelesaikan masalah yang ada. Sebagai sebuah antitesa, Hizbut Tahrir seperti gerakan Islam pada umumnya, mengkritik model Islam konvensional seperti ini.
Kedua; Hizbut Tahrir memiliki thariqah (metode) tersendiri bagi penerapan fikrahnya. Hizbut Tahrir adalah organisasi modern yang menekankan pada pembinaan, pengkaderan dan pengembangan jaringan. Pengikut Hizbut Tahrir memiliki sifat dan karakter yang khas, yang berbeda dengan pengikut gerakan Islam lainnya. Salah satu prinsip perjuangan Hizbut Tahrir adalah senantiasa mengambil jarak dengan penguasa.
B. Kegelisahan Yang Terjadi
Ada beberapa poin yang menjadi kegelisahan yang terjadi pada Syekh Taqiyuddin Nabhani atau Hizbut Tahrir, di antaranya:
Adanya pemikiran-pemikiran tidak Islami yang menyerbu dunia Islam.
Berkembangnya program pendidikan yang berpola kolonialis.
Berlanjutnya penerapan system kapitalis.
Adanya sikap mendewakan sebagian ilmu pengetahuan dan kebudayaan dan menganggapnya sebagai ilmu universal.
Berkembangnya kehidupan masyarakat yang tidak Islami didunia Islam.
Adanya kontradiksi antara kenyataan kehidupan umat Islam dengan hukum Islam, terutama dalam masalah politik pemerintahan dan ekonomi. Kontradiksi tersebut sangat berpengaruh sehingga menimbulkan kelemahan pandangan kaum muslimin terhadap kehidupan.
Adanya pemerintahan di Negara-negara Islam yang menerapkan system demokrasi dan kapitalis secara utuh ditengah-tengah masyarakat.
Berkembangnya pendapat umum tentang kebangsaan, nasionalisme dan sosialisme.
C. Pemikiran dan Doktrinnya
Dakwah mereka tergolong dalam salah satu Jamaah Islamiyyah yang membawa pemikiran Ahlu Sunnah Wal Jamaah. Tujuan mereka terfokus kepada penerapan kehudupan Islami dengan jalan, terlebih dahulu, menegakkan negara Islam di Negara-negara Arab, kemudian di Negara-negara Islam lainnya. Baru setelah itu tugas dakwah dilancarkan ke negara-negara bukan Islam melalui umat Islam yang sudah terbentuk.
Cirri utama Hizbut Tahrir ialah konsentrasinya yang sangat besar kepada aspek tsaqafah (keilmuan) dan menjadikannya sebagai landasan pembentukan pribadi muslim dan umat Islam. Selain itu, Hizbut Tahrir berupaya keras mengembalikan kepercayaan terhadap Islam melalui aktivitas keilmuan disatu sisi dan melalui jalur politik disisi lain. Hal itu terumuskan seperti berikut:
Melalui aktivitas tsaqafah dengan cara mendidik berjuta-juta manusia secara massal dengan tsaqafah dan ilmu-ilmu Islam. Karena itu Hizbut Tahrir harus tampil ditengah-tengah massa untuk berdiskusi, berdialog, tanya jawab dan semacamnya sehingga bersenyawa dengan Islam.
Sedangkan melalui aktivitas politik mereka rumuskan dengan cara merekam dan menginventarisasi segala kejadian dan peristiwa. Kemudian dijadikannya pembicaraan yang mengacu kepada kebenaran pemikiran dan hukum-hukum Islam dalam rangka meraih kepercayaan massa.
Dalam mencapai tujuannya Hizbut Tahrir, ada beberapa tahap yang harus dilalui, yaitu:
Pertama; tahap tatsqif (pengkaderan, pembinaan dan pembangunan ideologi). Tahap ini ditujukan hanya untuk anggota. Individu dianggap kosong dari tsaqafah tertentu.
Kedua; tahap tafa’ul (interaksi) antara anggota partai dengan masyarakat umum. Dalam tahap ini, masyarakat diperkenalkan dengan ideologi partai wsampai ideologi partai mereka menjadi ideologi mereka.
Ketiga; tahap istilamul hukmi (penerimaan kekuasaan). Tahap ini partai mengambil alih kekuasaan dari penguasa yang tidak sehaluan dengan ideologi partai. Dengan dukungan penuh umat, partai mengambil alih kekuasaan dan menerapkan ideologi partai yang harus diterapkan dimasyarakat.
II. Majelis Mujahidin Indonesia
A. Profil Majelis Mujahidin Indonesia
Majelis Mujahidin Indonesia sebenarnya adalah organisasi yang masih muda. Ia didirikan empat tahun lalu di Yogyakarta sebagai hasil dari pertemuan sejumlah aktivis muslim dari berbagai daerah di Indonesia dan beberapa delegasi dari luar negeri pada bulan agustus 2000 yang disebut “Kongres Mujahidin”. Tokoh kunci dari kongres Mujahidin adalah Irfan S. Awwas dan Abu Bakar Ba’asyir yang pernah diklaim sebagai pimpinan spiritual Jama’ah Islamiyah, jaringan al-Qaeda di Asia Tenggara, namun kemudian gagal dibuktikan oleh Pengadilan Indonesia. Besarnya peran Ba’asyir dan Irfan di tubuh MMI terbukti dengan dipilihnya Ba’asyir sebagai Amirul Mujahidin dan Irfan sebagai ketua dewan legislative (Lajnah Tanfidziyah) yang kemudian dipilih kembali pada kongres mujahidin kedua pada bulan September 2003 di Solo. Kongres Mujahidin I yang dilaksanakan pada tanggal 5-7 Agustus 2000 ini dihadiri oleh lebih dari 1800 peserta dari 24 provinsi, kemudian diresmikan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) pada tanggal 7 Agustus 2000.
Sebutan “Majelis Mujahidin” mengacu pada lembaga yang dibentuk dalam kongres Mujahidin I, sebagai wadah yang terdiri dari sejumlah tokoh Islam Indonesia yang disebut sebagai Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA) yang mengemban amanat untuk meneruskan misi penegakan syariat Islam.
Secara sosial dan politis, MMI ini juga merupakan suatu reaksi terhadap kebijakan “deIslamisasi” pemerintah Orde Lama dan Orde Baru yang sama sekali tidak membuka ruang bagi pergerakan politik Islam. Maka sejak “pemerintahan reformasi” Presiden B.J. Habibie, gerakan-gerakan Islam mulai mendapatkan ruang bebas untuk dapat mengartikulasikan kepentingan-kepentingan umat Islam.
Meski umurnya masih muda, pengurus MMI mengklaim bahwa kehadiran mereka telah dinantikan oleh umat Islam di Indonesia yang merindukan penerapan syariat Islam dan dengan demikian berkembang cukup cepat. Mereka berambisi untuk menjadi organisasi basis (tansiq) bagi organisasi, kelompok atau individual muslim yang mempunyai orientasi dan metode gerakan yang sama untuk memperjuangkan penerapan syariat Islam di Indonesia. Mereka mengklaim telah mempunyai perwakilan di 8 provinsi di Indonesia yang meliputi Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Jakarta, Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara Barat.
B. Kegelisahan Yang Di Timbulkan
Berdirinya Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) mempunyai beberapa alasan, di antaranya:
Pertama; kerinduan sebagian besar kalangan muda dan tokoh umat Islam, yang kemudian menjadi pelopor dan p0engurus MMI, akan berdirinya Daulah Islamiyah (Negara Islam), baik dalam pengertian nasional maupun internasional.
Kedua; keprihatinan terhadap berbagai gerakan penegakan syariat Islam, dan pembentukan Negara Islam di Indonesia yang selalu dicurigai dan memunculkan semacam Islamophobia yang seringkali dihubungkan dengan pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo.
Ketiga; keprihatinan terhadap eksistensi Islam yang masih terpinggirkan, sehingga Islam tidak memiliki ruang bebas untuk mengaktualisasikan ajaran-ajaran agamanya sebagai golongan penganut agama mayoritas di Indonesia.
Keempat; krisis multidimensi yang menimpa Indonesia dewasa ini, menurut MMI, tidak bisa diselesaikan pemerintah yang tidak memiliki komitmen keIslaman yang kuat. Lemahnya komitmen itu dapat dilihat dari rendahnya moral dan lemahnya akidah umat Islam Indonesia akibat, di antaranya akibat dicampakkannya syariat Islam dalam hukum positif Indonesia, dan adanya konspirasi Barat-Zionis yang “disambut baik” oleh pemerintahan Abdurrahman Wahid yang menjadikan beberapa tokoh Barat-Yahudi sebagai penasehatnya.
C. Dasar Pemikiran Majelis Mujahidin Indonesia
Dasar pemikiran pendirian MMI ini erat kaitannya dengan dengan keinginan sebagian umat Islam untuk mendirikan Negara Islam (Daulah Islamiyah atau Islamic State). Kelompok MMI berpendapat bahwa karena Islam ini sesungguhnya adalah din wa daulah (Agama dan Negara), pendirian Negara Islam menjadi sebuah keniscayaan.
Selain itu, upaya penegakan syariat Islam itu merupakan tujuan akhir dari pergerakan MMI. Bagi MMI, penegakan syariat Islam secara formal melaui institusi Negara, merupakan satu-satunya jalan keluar untuk mengatasi kemelut yang dihadapi bangsa Indonesia dalam berbagai bidang. Disisi lain, MMI masih percaya bahwa upaya penegakan syariat Islam dapat diperjuangkan di Indonesia dengan mengakomodir bentuk Negara Republik Indonesia, meskipun MMI mengecam system sekuler dan menjadi perdebatan internal di tubuh MMI sendiri. Kongkritnya, MMI telah mengirimkan draft Usulan Amandemen UUD 1945 dan Usulan Undang-Undang Hukum Pidana Republik Indonesia Disesuaikan dengan Syariat Islam keapada pemerintah, DPR dan MPR. Hal inilah yang menjadi perbedaan antara Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Tuntutan formalisasi syari’ah di Indonesia bagi Majelis Mujahidin adalah final. Dalam sejarah perjuangan umat Islam, usaha menegakkan syariah ini telah ditempuh beberapa metode. Pertama, adalah metode konstitusional yaitu perjuangan dengan masuk ke dalam lembaga seperti MPR dan DPR. Kedua, dilakukan dengan dakwah, seperti yang dilakukan oleh DDII. Ketiga, dengan pendidikan, seperti yang dilakukan oleh Muhammadiyah. Keempat, dengan bersenjata seperti yangn dilakukan oleh Kartosuwiryo.
Sejauh ini Majelis Mujahidin berusaha mewujudkan cita citanya melalui dakwah, baik dakwah secara politik, ataupun dakwah kemasyarakatan. Dakwah politik dilakukan dengan mengirimkan surat kepada pejabat-pejabat dan lembaga-lembaga tinggi negara. Beberapa jenis surat yang dikirim kepada pejabat dan instansi bisa dilihat dalam buku Dakwah dan Jihad Abu Bakar Ba’asyir. Selain mengirim surat, Majelis Mujahidin juga mengadakan audiens dengan pejabat tinggi, DPR atau organisasi massa untuk merealisasikan visi dan misinya itu.
Formulasi Syariat Islam
1. Deklarasi Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Setahun setelah undang-undang otonomi khusus bagi Aceh diberlakukan, maka pelaksanaan syariat Islam di privinsi ini mulai dibicarakan secara intensif oleh berbagai komponen masyarakat. Formalisasi diawali dengan Deklarasi Syariat Islam pada 1 Muharram 1423 H bertepatan dengan 15 Maret 2003 M. Namun demikian, pasca deklarasi tidak serta merta pelaksanaannya berjalan seperti yang diharapkan. Selama itu, belum ada perubahan signifikan secara subtansial sesuai nilai-nilai Islam. Kecuali keberadaan symbol-simbol Islami yang sangat mencolok secara kasat mata. Simbolisasi Islam itu nampak pada plang-plang dan spanduk-spanduk tentang pemberlakuan syariat Islam secara kaffah. Pemberian label-label dengan huruf arab (melayu) pada papan nama di kantor, kantor pemerintahan dan lembaga-lembaga lainnya terjadi dimana-mana. Fenomena ini jauh dari yang diduga masyarakat setempat yang sebenarnya telah menerapkan syariat Islam secara cultural. Sesungguhnya tanpa formalisasi dan simbolisasi pun, syariat Islam secara adat sudah terlaksana dibeberapa daerah di Aceh, misalnya dimasyarakat Gayo.
Hal ini mengundang sinisme dan kritik tajam dari komponen masyarakat itu sendiri dan para pengamat diluar masyarakat aceh. Kalangan DPRD Provinsi Aceh menyoroti undang-undang tersebut dan pelaksanaan syariat Islam dengan mengatakan “hanya sebagai tetakut”. Hal ini jauh dari harapan, karena bagi masyarakat Gayo, syariat Islam bukanlah suatu hal yang baru karena dat istiadatnya memang sudah bersendikan Islam.
Pelaksanaan syariat Islam dimanapun hanya memerlukan penyadaran setiap individunya, cukup dengan komitmen akidah yang sangat kuat. Formulasi syariat Islam dari yang bersifat normative kea rah hukum positif memerlukan waktu. Prosesnya memerlukan kesiapan perangkat hukum, berupa lembaga otoritas yang menegakkannya serta perangkat qanun-qanun sebagai hukum positif yang menjadi kewenangannya.
Pelaksanaan syariat Islam di Aceh mulai berjalan setelah diresmikan Mahkamah Syar’iyyah oleh Menteri Agama, Said Agil Husein Al-Munawar pada ! muharram 1424 (selasa, 3 Maret 2003). Peresmian Mahkamah Syar’iyyah itu berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyyah, sehingga Mahkamah Syar’iyyah provinsi NAD menetapkan pengadilan agama diseluruh Aceh menjadi Mahkamah Syar’iyyah kabupaten/kota. Sedangkan Pengadilan Tinggi Agama NAD menjadi Mahkamah Syar’iyyah Provinsi.
Proses pemberlakuan syariat Islam di Aceh yang berdasarkan undang-undang, selain memerlukan penyadaran warganya, juga tengah menghadapi kendala dalam penyiapan perangkat qanun. Kesulitan ini karena adanya proses peralihan dari syariat Islam yang bersifat normative ke arah hukum positif. Beberapa qanun yang telah diberlakukan antara lain: Qanun No. 10 Tahun 2002 tentang Lembaga Mahkamah Syar’iyyah, Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Akidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam. Bidang hukum public yang akan segera disahkan adalah Qanun tentang perjudian, minuman keras, dan pelacuran. Aspek lain sebagai langkah awal perlakuan syariat Islam di Aceh, yaitu bidang pendidikan, pembinaan dan penyadaran hukum.
2. Aplikasi Syariat Islam di Sulawesi Selatan
Kesadaran umat Islam di Sulawessi Selatan terhadap pelaksanaan syariat Islam secara kaffah telah membulatkan tekad dengan mendeklarasikannya. Kongres I Umat Islam di provinsi tersebut berlangsung 19-21 Oktober 2000. Hal ini menjadi tonggak sejarah lahirnya tuntutan pemberlakuan syariat Islam. Diperkirakan lebih dari 2.300 umat Islam yang hadir dalam kongres itu sepakat untuk menuntut otonomi khusus bagi pemberlakuan syariat Islam di Sulawesi Selatan. Untuk memperjuangkan tuntutan tersebut, telah dibentuk suatu kepanitian yang disebut dengan Komite Penegakan Syariat Islam (KPSI) Sulawesi Selatan.
Kongres Umat Islam dan KPSI tersebut diawali dengan pertemuan para aktivis Islam di daerah ini pada tahun 1999. Para penggagasnya merupakan mantan aktivis Himpunan Mahsiswa Islam (HMI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan organisasi lainnya. Secara politis, pertemuan itu awalnya untuk menyikapi kejatuhan kekuasaan Orde Baru yang dikomandoi Presiden Soeharto. Para aktivis Islam itu menilai bahwa selama orde baru berkuasa, umat Islam merupakan kelompok yang tersingkirkan. Marginalisasi umat Islam selama orde ini dilakukan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk di dalamnya masalah pelaksanaan akidah dan syariah. Dengan demikian, kejatuhan orde baru 1998 dijadikan momentum kebangkitan umat Islam di Sulawesi Selatan.
Tuntutan penerapan syariat Islam di Sulawesi Selatan terus menggelinding. Bahkan tiga kabupaten sudah melaksanakan. Lima bulan lalu, beberapa warga desa di beberapa kabupaten, antara lain Kabupaten Jeneponto, Bantaeng, dan Gowa sepakat menerapkan hukum qisash (potong tangan) terhadap pelaku kejahatan yang mulai marak di kawasan tersebut. Begitu warga sepakat menerapkan hukum qishash bagi pelaku kejahatan yang sebelumnya rawan, kini kawasan itu menjadi aman tenteram.
3. Deklarasi Syariat Islam di Cianjur
Kabupaten Cianjur merupakan salah satu daerah yang berada di Provinsi Jawa Barat yang sebagai besar penduduknya memeluk agama Islam. Komitmen untuk mengaplikasikan syariat Islam secara kaffah melibatkan seluruh komponen masyarakat yang diawali dengan Deklarasi Umat Islam Kabupaten Cianjur pada 1 Muharram 1422 H, bertepatan dengan 26 Maret 2001 M. dalam deklarasinya itu dinyatakan:
• Meyakini bahwa syariat Islam sebagai pedoman hidup dan solusi penanggulangan krisis multidimensi yang melanda bangsa Indonesia dan jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
• Berkehendak melaksanakan syariat Islam secara kaffah dan bertahap dalam kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi maupun bermasyarakat di Kabupaten Cianjur
• Meminta Bupati dan DPRD Cianjur untuk menindaklanjuti aspirasi umat Islam Kabupaten Cianjur.
Dalam menerapkan syariat Islam di Cianjur, lahirlah sebuah format, yaitu Gerbang Marhamah (Gerakan Pembangunan Masyarakat ber-akhlakulkarimah) sebagai upaya merespon aspirasi umat Islam dan mewujudkan cita-cita untuk membumikan secara bertahap nilai-nilai Islam.
Dalam upaya mewujudkan Gerbang Marhamah ini, pemerintah Cianjur merumuskan tujuh strategi pokok, yaitu:
• Membangunsituasi dan lingkungan yang kondusif bagi terciptanya perilaku akhlakulkarimah dilingkungan aparat dan masyarakat.
• Membangun motivasi dan kesadaran setiap individu muslim akan pentingnya sikap dan perilaku akhlakulkarimah.
• Memadukan kebijakan dan pelaksanaan Gerbang Marhamah ke dalam kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan Kabupaten Cianjur.
• Membangun kelompok pelopor (penteladanan) sebagai penggerak akhlakulkarimah dari kalangan aparatur pemerintah, ulama, muballigh, dan masyarakat.
• Penggalian dan penggalangan potensi sumber-sumber yang dibutuhkan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan, baik sumber-sumber material maupun sumber-sumber non-material.
• Menggalang kerja sama dan kemitraan dengan berbagai lembaga yang ada, baik lembaga pemerintah mapun lembaga masyarakat.
• Melembagakan dan membudayakan sikap dan perilaku akhlakulkarimah dalam seluruh aspek kehidupan.
4. Aplikasi Syariat Islam di Kabupaten Pamekasan
Sejak zaman penjajahan dulum kepulauan Madura sudah bersentuhan dengan agama Islam. Oleh karena itu, amatlah wajar bila masyarakatnya sangat antusias ingin memberlakukan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupannya. Keinginan ini drespon oleh pemerintah Pamekasan yang ditindaklanjutinya dengan pelaksanaan seminar syariat Islam dan pembentukan Lembaga Pengkajian dan Penerapan Syariat Islam (LP@SI) melalui Surat Keputusan Bupati No. 188/126/441.012/2002.
Disadari, selain adanya peluang untuk memberlakukan syariat Islam di Kabupaten Pamekasan, pemerintah masih menghadapi kendala sekaligus juga menjadi tantangan yang perlu diantisipasi dalam pelaksanaannya, yaitu: Pertama, masih ada penilaian dan kecurigaan yang berlebihan baik dari mereka yang beragama Islam maupun non muslim. Hal ini disebabkan karena kekeliruan dalam memahami konsep pelaksanaan syariat Islam. Kedua, kualitas keberagamaan sebagai umat Islam belum memadai dan masih jauh dari harapan, dengan sikap dan perilaku sebagai umat terkadang berseberangan dengan nilai-nilai Islami.
Pemberlakuan syariat Islam di Kabupaten Pamekasan ini melahirkan sebuah format yaitu Gerbang Salam. Berdasarkan pendapat inisiatornya, Gerbang Salam merupakan usaha bersama yang dilakukan secara sistematis dan terus menerus untuk metransformasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Gerbang Salam ini mengacu pada kebijakan dan strategi Program Pembangunan Daerah (Properda) tahun 2002-2006, yaitu untuk mewujudkan visi masyarakat Pamekasan Mekkas Jatnah Paksa Jenneng Dibi’. Visi tersebut diwujudkan dengan tiga misi pokok berlandaskan filosofis panutan masyarakat Madura; Buppa’, Babu’, dan Guru Rato, yaitu melakukan upaya dan langkah untuk membangun keluarga yang harmonis, sebagai landasan terwujudnya tatanan masyarakat Islami; melakukan upaya dan langkah untuk membangun nuansa dan lingkungan pendidikan yang Islami; sebagai landasan bagi terwujudnya generasi yang Islami; dan melakukan upaya dan langkah untuk membangun aparatur pemerintah yang Islami, sebagai landasan bagi terwujudnya kesejahteraan dan ketentraman masyarakat.
Untuk mempercepat tercapainya visi dan misi di atas, maka ditetapkan tujuh strategi pokok, yaitu:
• Membangun situasi dan lingkungan yang kondusif bagi terciptanya perilaku Islami di lingkungan keluarga, pendidik, dan aparatur pemerintah.
• Membangun motivasi dan kesadaran setiap individu muslim akan pentingnya sikap dan perilaku Islami.
• Memadukan kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan Kabupaten Pamekasan, dengan kebijakan dan pelaksanaan program Gerbang Salam.
• Membangun kelompok pelopor (peneladanan) sebagai penggerak pelaksanaan Gerbang Salam di lingkungan rumah tangga, pendidikan, dan aparatur pemerintah.
• Menggalang kerja sama dan kemitraan dengan berbagai lembaga yang ada, baik lembaga pemerintah maupun lembaga masyarakat.
• Melembagakan dan membudayakan sikap dan perilaku Islami dalam seluruh aspek kehidupan.
• Membangun pemahaman secara komprehensif tentang sosial budaya masyarakat.
5. Kesimpulan
Secara sederhana, gerakan Islamis di Indonesia dapat dibagi menjadi dua bentuk gerakan dan strategi. Pertama, adalah gerakan politik partisan yang berusaha menempuh jalur-jalur politik resmi seperti partai-partai politik dan pemerintahan. Partai-partai dan organisasi Islamis ini bersinergi secara baik dengan cara melakukan lobi-lobi politik dan kekuasaan serta penciptaan aksi dukungan bagi parta-partai politik yang memperjuangkan syariat Islam. Pola ini salah satunya dilakukan oleh Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).
Kedua, adalah gerakan sosial yang lebih menekankan proses Islamisasi masyarakat dan penciptaan basis-basis baru bagi dukungan penegakan syariat ditengah masyarakat secara luas. pola kedua ini dipakai oleh Hizbut Tahrir Indonesia.
Gerakan yang pertama berorientasi pada terciptanya tatanan politik dan kekuasaan pemerintahan Islam (hukumah Islamiyah) atau yang lebih dikenal dengan daulat Islamiyah dalam konteks Indonesia adalah Negara Islam Indonesia, sedangkan pola gerakan yang kedua bertujuan untuk membentuk dukungan sosial bagi pemerintahan Islam itu, yaitu masyarakat Islami (jama’ah Islamiyah).
Pengamatan secara sekilas diatas menggambarkan dua strategi yang sedang ditempuh oleh gerakan Islamis di Indonesia, yaitu strategi Islamisasi Negara dengan upaya perjuangan pemberlakuan syari’at Islam dan Islamisasi masyarakat dengan penyadaran masyarakat mengenai kewajiban memberlakukan syari’at. Keduanya merupakan hasil akhir dari perjuangan untuk menciptakan Islam kaffah, yaitu suatu tatanan Islam yang menyatukan secara sempurna antara agama dan Negara, antara hukum tuhan dengan aktifitas sosial dan politik yang eksternal.
0 Response to "Huzbu Tahrir dan Majelis Mujahidin Indonesia"
Posting Komentar