SEJARAH SUFI DAN ALIRAN-ALIRAN DALAM TASAWUF

A. SEJARAH PERKEMBANGAN SUFISME

1. Definisi sufi
Kata sufi/ sufiyah, diartikan sebagai orang yang selalu mengamalkan ajaran tasawuf. Berikut beberapa definisi sufi yang dikemukakan oleh para ulama, antara lain:

a. Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdy

االصُّوْ فيُّ مَن صَفَا قَالْبَهُ مِنَ الْندَرِوَامْتَلاَ مِنَ الْعِبَرِ

Sufi adalah orang yang hatinya jernih dari kehidupan yang buruk dan terisi pengajaran (dari Tuhan) serta kemurniannya bagaikan emas dan tanah liat.

b. Al-Qusyalry

Sufi adlah orang yang tidak pernah merasakan letih (bila ) mencari keridhan Allah dan tidak pernah susah (bila) ditimpa suatu cobaan.

c. Imam Al- Ghazali

االقُوْ فِيَّةُ اَهْلً الْلقَرْ بِ سَلَكُوْا بِنُوْ الاِحساَنِ

Beliau mengungkapkan pendapat Abu Bakar Al-Kattaany bahwa, sufi adalah ahli ibadah yang telah melakukan suluk dengan nur (petunjuk) dan ihsan (perbuatan mulia).

d. Ibnu ‘Athaa’ As-Sakandary

Sufi adalah orang yang benar (kelakuannya), yang ditandai dengan sikap memfakirkan dirinya setelah ia memiliki kekayaan, bersikap sederhana setelah ia mengalami kesulitan dan menyembunyikan dirinya setelah ia terkenal.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa, seorang sufi adalah orang yang disucikan hatinya oleh Allah dan dia berupaya membangun hubungan harmonis dengan-Nya dan dengan makhluk-Nya dengan jalan menapaki laku yang tepat sebagaimana di contohkan secara sempurna oleh nabi Muhammad SAW.

2. Asal mula muncul istilah sufi
Para ulama tasawuf berbeda pendapat dalm menetapkan asal-usul pemakaian istilah sufi. Kata sufi dinisbatkan kepada beberapa kata seperti:

a. (صَفاَ,يَصفٌ,صَخْواً, اَوصَفاًء berarti suci atau bersih. Hal ini sesuai dengan keterangna Mahmud Amin An-nawawy bahwa:

قَا لَتْ طَايِفَةٌ : اِنَّمَا سُمِّيَتِ الصُّوْ فِيَّةُ صُوْ فَيَّةًً لِصِفَا ءِ اَسْرَارِ هاَوَ نَقاءِ ال ثَارِهَا.

Artinya: segolongan ahli tasawuf berkata: bahwasanya pemberian nama menjadi sufiyah karena kesucian rahasianya (hatinya) dan kebersihan kelakuannya.

b. Dari kata صَفُّ yang bentuk jama’nya adalah صُفُوْفُ yang artinya shaf atau barisan.

c. Bisa pula dinisbatkan pada kata اَهْلُ الصُّفَّةِ yaitu nama nama yang diberikan kepada orang-orang sufi di masa rasulullah saw. Mahmud Amin An-Nawawy mengatakan bahwa:

قَالَ قَوْ مُّ : اِنَّمَا سَمُّوْا صُوْفِيَّةً لِقُوْبِ اَوْ صَا فِهِمْ مِنْ اَوْصَا فِ اَهْلِ الصُّفَّةِ الَّذِيْنَ كَا نُوْا عَلىَ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّا اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ.

Artinya: segolongan ulama tasawuf berkata bahwasanya mereka menamakan sufiyah karena sifat-sifatnya mirip dengan sifat-sifat ahlush suffah yang hidup di masarasulullah SAW.

d. dinisbatkan pada kata اَلصُّوْ فُ yang artinya pilihan (terbaik). Hal ini dikatakan oleh Yusuf bin Al-Husain sebagai berikut:

لِكُلِّ اُمَّةٍ صَفْوَةٌ وَهُمْ وَدِيْعَةُ اللهِ الَّذِيْنَ اَخْفَا هُمْ عَنْ خَلْقِهِ, فَاِنْ يَكُنْ مِنْهُمْ فىِْ هَذِهِ اِلاُْ مَّةِ فَهُمُ الصُّوْ فِيَّةْ.

artinya: setiap umat terdapat orang-orang pilihan (terbaik) dan mereka adalah titipan Allah yang bersembunyi dari makhluk-Nya. Apabila terdapat orang-orang tersebut pada umat ini (islam), maka mereka itulah yang (dimaksudkan) shufiyah.

e. Dinisbatkan pada kata اَوْصَا فٌ yang berarti keterangan (sifat). Mahmud Amin An-Nawawy mengemukakan:

سُيلَ الشِبْلىُّ : لِمَ سُمِّيَتِ الصُّوْ فِيَّةُ صُوْ فِيَّةً ؟ قَالَ : لاَِنَّهَا ارْ سَمَتْ بِوُجُوْ دِ الرَّ سْمِ وَمَثْبِتِ اْلوَصْفِ.

Artinya: Pernah As-Sibly ditanya Mengapa orang-orang sufi dinamakan sufi? Ia menjawab: karena padanya terlukis adanya gambaran (hati nurani) dan ketetapan sifat yang terpuji.

Pada abad 10 M, Al-Kindi menunjuk komunitas kecil yang menyeru kepada kebaikan dan secara lantang menentang setiap kejahatan di Alexandria Mesir. Menurutnya, kelompok tersebut disebut dengan sufi. Sedangkan Muruj Adz-Dzahab al-Ma’udi mengatakan bahwa sufi pertama kali muncul pada masa khalifah Abbasiyahal-Makmun. Menurut Abu al-Qasim Qushayri, sufi muncul pertam kali pada abad 9 M, sekitar 200 tahun setelah nabi SAW wafat.

Selain itu, diterangkan pula bahwa terdapat sejumlah masalah sosio politik yang melatarbelakangi munculnya sufisme. Masalah terus bergulir sejak rasulullah wafat. Sampai pada masa kepemimpinana raja Abbasiyah yang tiran dengan moral yang bobrok serta memutarbalikkan model hidup nabi Muhammad SAW, dengan mengklaim dirinya sebagai pemerintah yang absah. Tak hanya itu, islam juga mengalami pembalikan situasi kepada rasisme, feodalisme, kasta social dengan pemilihan kaya dan miskin serta structural-struktural social lain yang didasarkan pada system kesukuan dan keluarga. Dalam situasi demikian terdapatlah sejumlah orang-orang yang memiliki kearifan dan kesalehan yang agung serta para pencari kebenaran yang berusaha mengakhiri ketidakadilan khalifah. Mereka ingin memisahkan diri dari kelompok yang berkuasa ataupun pendukung-pendukung mereka yang berorientasi dunia. Jadi, kita menemukan bahwa permulaan munculnya sufisme lebih merupakan konsekuensi alamiah sebagai tanggapan atas pemerintahan yang korup daripada menaati raja Diraja, yakni Allah Ta’ala, melalui ketaatan atas “wakilnya yang benar” di atas bumi.
Apa yang dilakukan oleh para sufi di masa-masa awal dapat dilakukan oleh siapapun yang mencari pesan-pesan luhur dalam hidupnya. Karena itulah sangat terburu-buru bila kita mengatakan bahwa sufisme baru dijumpai pada 200 tahun setelah wafatnya Rasululloh atau kita katakana bahwa sufisme berasal dari orang-orang miskin yang sederhana dan baik hati.
Kedua pandangan tresebut dapat benar dapat pula salah karena sufisme adalah gerakan yang berawal dengan memiliki bentuk tanda-tanda dan ukuran-ukuran ketika kepemimpinan/ pemerintahan islam menyimpang dari ajaran islam yang orisinil. Pada tahapan ini kelompok sufi mulai mengalami perkembangannya.
Para sufi, mengalamatkan diri mereka untuk persoalan-persoalan manusia sebelah dalam dank arena itu mereka mengembangkan pengetahuan tentang kedirian sebelah dalam. Ketika Imam Junaid ditanya: “Kapan nama sufi mulai ada? Beliau menjawab: “Sufisme adalah realitas tanpa sebuah nama, tetapi sekarang ini, ia merupakan nama tanpa realitas.
Hal ini dapat diumpamakan dengan orang yang memasak daging, kemudian memakannya tanpa memberikan nama apapun untuk hidangan tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sufisme sudah ada sejak zaman rasulullah SAW, namun tanpa label atau embel-embel lain yang diberikan kepadanya.
Salah satu dokumen tertua yang juga mendukung tentang kemunculan sufisme berasal dari Abdurrahman al-Sulami yang lahir pada 938 M di Iran. Di dalamnya dapat dijumpai situasi yang berkaitan dengan pencarian kebenaran serta kesinambungan transformasi dasar jalan hidup kesufian selama abad 9 dan 10 M.

B. ALIRAN-ALIRAN DALAM TASAWUF

Berdasarkan kode etik keilmuan dan penyajian akademik tasawuf ada dua:

1. Tasawuf Sunni
Yaitu memahami tasawuf berdasarkan dalil naqli saja (al-Qur’an dan Sunnah) yang kebanyakan diterima oleh ulama ahli sunnah wal jama’ah. Beberapa tokoh dalam tasawuf ini antara lain: Al-Ghazali, Hasan al-Bisri, Al-Harits Al-Muhasibi, dan Abdul Karim Al-Qusyairi.


2.Tasawuf Falsafi
Yaitu memahami tasawuf berdasarkan dalil naqli dan masih menggunakan alat bantu aqli filsafati.
Beberapa tokoh dalam tasawuf ini antara lain: Rabi’ah al-Adawiyah, Zunnun al-Misri, Yazid al-Busthami, Husein bin Mansural-Hallaj, Ibnu Arabi, dan Abdul Karim al-Jilil.
Selain aliran-aliran tersebut trdapat pula pembagian aliran-aliran sufisme yang masing-masing memiliki karakter yang dominan, antara lain:

1. Aliran Qadiriyah
Didirikan oleh Syekh Abdul Qadir al-Jaelani (1166 M)di Jaelan, Persia.
2. Aliran Rifa’iyah
Didirikan oleh Syekh Ahmad al-Rifa’ie (1182 M) di Bashrah
3. Aliran Sadziliyah
Mulai diketahui melalui Syekh Abu al-Hasanal-Sadzily dari Maroko (1258 M).
4. Aliran Maulawiyah
Didirikan oleh Maulana Jalal al-Din Rumi dari Konya, Turki (1273 M). Pengikut aliran ini dikenal sebagai para darwis yang berkelana.
5. Aliran Naqshabandiyah
Diambil dari nama pendirinya, yakni Bahaud Din Naqshabandi dari Bukhara (1390 M). Aliran ini adalah satu-satunya aliran yang memiliki geneologi silsilah transmisi “ilmu” melalui pemimpin muslim pertama yakni Abu Bakar, bukan seperti aliran-aliran sufi lain yang memiliki geneologi melaliu para pemimpin spiritual syi’ah, tentu melalui Imam Ali kemudian sampai kepada nabi SAW.
6. Aliran Bektashi
Didirikan oleh Hajji Bektash dari Khurasan (1338 M). Pengikut aliran ini juga dipandang sebagai pengikut syi’ah.
7. Aliran Ni’amatullah
Didirikan oleh Syekh Nurrudin Muhammad Ni’matullah (1431 M). aliran ini banyak dijumpai di Iran dan India.
8. Aliran Tijani
Didirikan oleh Syekh Abbas Ahmad Ibnu al-Tijani, al-Jazair (1815 M)

9. Aliran Jarrahi
Didirikan oleh Syekh Nurrudin Muhammadal-Jarrah, Istanbul (1720 M) yang menyebar sampai Turki dan sebagian di Amerika barat dan utara.
10. Aliran Chisti
Didirikan oleh Abu Ishaq Shami Chisti (966 M) yang menyebar terutama di daerah Asia Tenggara.

C. NADZARIYAH WA AMALIYAH

1. Ajaran Al-Hallaj
Nama Lengkapnya adlah al-Mughisy al-Husein bin Mansur al-Hallaj, lahir di negeri Baida bagian selatan Persi pada tahun 244 H/875 M. Beliau wafat karena dijatuhi hukuman mati oleh pihak pengadilan. Mengenai sebab-sebabnya sampai sekarang masih menjadi kontroversi. Namun, Harun nasution menyatakan bahwa beliau dihukum karena diduga memiliki memiliki hubungan dengan gerakan Qaramithah, yaitu sekte syi’ah yang dibentuk oleh Hamdan ibnu Qarmat. Sekte ini berpaham komunis dan senantiasa melakukan terror, termasuk berusaha menyerang Makkah.
Paham tasawuf al-Hallaj dikenal dengan nama al-Hulul yang merupakan perkembangna dan bentuk lain dari pada ittihada Abu Yazid. Menurutnya, Tuhan dan manusia sama-sama memiliki sifat ketuhanan dan sifat kemanusiaan. Pemikiran ini didasarkan hadist berikut:
ااِنَّ اللهَ خَلَقَ اَدَمَ عَلىَ صُوْرَ تِهِ

artinya: Tuhan menciptakan Adam menurut bentuknya.
Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiannya. Disebutkan satu pernyataan tentang hulul dalam teks Arab yang berbunyi:
اانَّ اللهَ اُصَطَفىَ اَجْسَامًا حَلَّ فِيْهاَ بِمَعَا نىِ الرُّ بُوْ بِيَّةِ وَاَزَالَ عَنْهاَ مَعَا نىِ اُلبَشَرِ يَّةِ

“ sesungguhnya Allah memilih jasad-jasad (tertentu) dan menempatinya dengan makna keTuhanan (setelah) menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan.
Paham bahwa Allah dapat mengambil tempat pada diri manusia ini, bertolak dari pemikiran al-Hallaj yang mengatakan pada diri manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan).
Sebelum tuhan menjadikan makhluk, Dia hanya melihat diri-Nya sendiri. Allah hanya melihat kepada zat-Nya dan Iapun cinta pada zat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat didefinisikan. Karena itulah Allah menjadikan dari yang tiada menjadi ada, berupa copy-an dari didri-Nya. Bentuk copy ini adalah adam. Allah memuliakan dan mengagungkan Adam. Dia cinta pada Adam karena terdapat sifat yang dipancarkan dalam diri Adam yang berasal dari Tuhan.
Dengan cara demikian maka manusia mempunyai sifat ketuhanann dalam dirinya. Hal ini dapat dipahami dari firman Allah:
Yang Artinya: dan ingatlah ketika Kami berkata kepada para malaikat: ”sujudlah kepada Adam”, semuanya sujud kecuali iblis yang enggan dan merasa besar, Ia menjadi yang tidak percaya (al-Baqarah: 34)
Menurut Hallaj, dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan. Jika sifat itu bersatu dengan sifat kemanusiaan yang ada dalam diri Tuhan, maka terjadilah hulul. Untuk sampai ke tahap seperti ini manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui proses al-Fana, seperti dalam pandangan al-Busthami. Dapat pula dikatakan bahwa al-hulul adalah suatu tahapan di mana manusia dan tuhan bersatu secara rohaniah. Tujuan dari hulul adalah mencapai persatuan secara batin. Untuk itu Hamka mengatakan , bahwa al-hulul adalah ketuhanan (lahut) menjelma kedalam diri insane (nasut) dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang insan telah suci bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan.
Selanjutnya untuk menempatkan al-Hallaj sebagai pembawa paham hulul, dapat dipahami dari beberapa pernyataan dibawah ini:
مُزِجَتْ رُوْحُكَ فىِ رُوْحىِ كَمَا تُمْزَجُ اْلخَمْرَةُ بِالْمَاءِ لِزُلاَلِ فَاِذَ ا مَسَّكَ شَيْىٌ مَسَّنىِ فَاِذًًا ااَنْتَ اَنَا ضِ كُلِّ حَالٍٍ
Jiwamu disatukan dengan jiwaku, sebagaimana anggur disatukan dengan air suci. Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyuruhaku pula dan ketika itu dalam tiap hal eEngkau adalah aku.
Dalam paham al-Hulul terdapat dua hal yang harus dicatat. Pertama, bahwa paham hulul merupakan pengembangan atau bentuk lain dari mahabbah sebagaimana disebutkan dibawa Rabi’ah al-Adawiyah. Kedua, hulul juag menggambarkan adanya ittihad atau kesatuan rohaniah dengan Tuhan.
Perbedaan antara ittihad oleh al-Busthami dengan al-hulul adalah bahwa dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud, sedang dalam hulul ada dua wujud, tetapi bersatu dalam satu tubuh. Hal ini dapat dipahami dari syair yang dinyatakan oleh Hallaj:
ااَنَا سِرُّا لْحَقِّ مَالْحَقُّ اَنَا بَلْ اَنَا حَقُّ فَفَرِّقْ بَيُنَنَا
“ Aku adalah rahasia Yang Maha Besar, dan bukan lah Yang Benar itu aku. Aku hanya satu dari yang benar, maka bedakanlah antara kami”.
Dari pernyatan diatas dapat kita tarik satu kesimpulan bahwa, ana al-haqq (saya yang maha benar), sebenarnya bukanlah roh al-Hallaj yang mengucapkan demikian, tetapi roh Tuhan yang mengambil tempat (hulul) dalam diri al-Hallaj.
2. Ajaran imam Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Beliau lahir di Thus pada tahun 450 H/1058 M. beliau kemudian dikenal dengan julukan Hujjatul islam berdasarkan keluasan ilmu dan amalnya serta hidupnya yang penuh dengan perjuangan dan pengorbanan dalam mempertahankan ajaran islam dari serangan baik dari luar ataupun dari islam sendiri.
Pokok-pokok ajaran tasawuf al-Ghazali adalah ma’rifah. Yakni mengetahui rahasia tuhan dan mengetahui peraturan-peratura-Nya mengenai segala yang ada.
Al-Ghazali menerangkan bahwa orang yang mempunyai ma’rifah tentang tuhan, tidak akan mengatakan kata-kata ya Allah atau ya Rabb karena memanggil tuhan dengan kata-kata serupa itu menunjukkan bahwa tuhan itu masih berada di belakang tabir. Orang yang duduk berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya dengan kata-kata itu.
Menurut al-Ghazali, ma’rifah dan mahabbah adalh setinggi-tingginya tingkat yang dapat dicapai oleh seorang sufi. Pengetahuan yang diperoleh melalui ma’rifah menurutnya lebih bermutu daripada yang diperoleh melalui akal. Ma’rifah merupakan tahapan yang lebih dulu dilewati sebelum mahabbah, karena mahabbah timbul dari ma’rifah. Mahabbah bagi al-Ghazali bukan seperti mahabbah Rabi’ah, tetapi mahabbah dalam bentuk cinta yang timbul dari kasih dan Rahmat Tuhan kepada manusia, yang memberi manusia hidup, rejeki, kesenangan dan lain-lain.
Satu pernyatan beliau yang senantiasa dipegang teguh oleh kebanyakan sufi adalah bahwa: ”Apabila seorang hamba telah bersunyi dengan dirinya, berhentilah perjalanan indra lahir dan bangunlah indra baitn. Maka teruslah berdzikir dengan hati, sebut dan ingatlah Dia dan jangan lepaskan. Dan ketika itu ia tidak mendengar kabar dari dirinya atau dari karena tidak ada lagi yang mengauasai batin, selain yang Maha Kuasa. Semua itu terbukalah pintu hati dan sangguplah seorang melihat. Terbukalah langit dan bumi, arsy dan kursi, luh dan Qalam. Dengan cara mujahaddah ini, tersingkaplah hijab yang memisahkan antara khaliq dengan makhluk, sehingga terungkaplah apa yang menjadi rahasia yang berada dibalik alam nyata ini. Indralahir dan indra batin mengambil peranan penting dalam hal ini, dan akibatnya ilmu-ilmu yang selama ini samar-samr dan hanya berdasarkan pengalaman saja berubah menjadi suatu kenyataan bahkan ilmu-ilmu tersebut dapat disusun menjadi buku-buku yang menjadi pegangan bagi penganut tasawuf berikutnya.

Al-Ghazali membagi derajat mencapai iman dan yakin kepada tiga tingkatan yakni:
a. Tingkatan orang awam
Dalam tingkatan ini, orang hanya mempercayai kabar berita yang dibawa oleh orang yang dipercayainya.
b. Tingkatan orang Alim
Dalam tingkatan ini, seseorang mendapat kepercayaan dengan jalan menerima, membandingkan dan memeriksa segala ilmu atau informasi yang dating padanya, dengan segenap kekuatan akal dan manthiknya (intelektualisme).
c. Tingkatan orang Arif
Dalam tingkatan ini, bisa tumbuh keyakinan dalam diri seseorang setelah ia menyaksikan sendiri akan kebenaran yang dating dengan tidak ada dinding-dinding yang menutupinya.
Al-Ghazali lebih lanjut mengungkapkan tentang kebahagiaan. Menurutnya kebahagiaan itu ada dua yakni lazaat (kepuasan) dan sa’adah (kebahagiaan). Dengan bertambah banyak yang diketahui bertambah pula kebahagiaan dan kepuasan. Itulah sebabnya orang-orang yang lebih luas ilmunya lebih merasa bahagia daripada orang yang kurang ilmunya.
Rasa puasa timbul karena mengetahui sesuatu yang timbul menurut tabi’at kejadian sesuatu itu. Kepuasan mata ialah apabila melihat rupa yang indah, kepuasan telinga adalah apabila mendengar suara yang merdu. Maka segala indra dalam tubuh mendapatkan kepuasan karena tercapai pengetahuan itu menurut imbangnya masing-masing. Dan tidaklah syak lagi-demikianlah Ghazali-bahwasanya puncak keindahan, kepuasan dan kebahagiaan ialah hanya dengan mengetahui pokok pangkalnya segala kejadian itu, dan pokok pangkal itu bersumber dari Allah dan tidak ada lagi diatas-Nya.

0 Response to "SEJARAH SUFI DAN ALIRAN-ALIRAN DALAM TASAWUF"

Posting Komentar