Tokoh Pembaharu Islam Asghar Ali Engineer
1. Biografi Asghar Ali Engineer
Asghar Ali Engineer dilahirkan dalam keluarga muslim yang taat pada 10 Maret 1939 di Salumba, Rajasthan, dekat Udiapur, dimana syekh Qurban Husain, ayahnya, menjadi seorang amil (pegawai yang bekerja dimasjid yang mengelola semacam zakat) pada waktu itu. Asghar telah diberi pelajaran seperti tafsir al-Qur’an (komentar atau penjelasan atas firman Allah), ta’wil (makna ayat al-Qur’an yang tersembunyi), fiqh (yurisprudensi), hadits(perkataan nabi). Asghar juga belajar bahasa arab dari ayahnya, dan selanjutnya iya menekuni serta mengembangkan sendiri. ia telah diajarkan seluruh karya ulama’ dari Fatimi Da’wah oleh Sayedna Hatim, Sayedna Qadi Nu’man, Sayedna Muayyad Shariza, sayedna Hamiduddin Kirmani, Sayedna Hatim al-Razi, Sayedna Jafar Mansur al-Yaman dan sebagainya.
Asghar juga mendapatkan pendidikan sekuler, disamping pendidikan agama. Ia adalah lulusan teknik sipil dari Indore (M.P) dengan tanda kehormatan, serta mengabdi 20 tahun sebagai seorang insinyur di Korporasi kota Praja Bombay dan kemudian mengundurkan diri secara sukarela untuk menerjunkan dirinya kedalam gerakan reformasi Bahra. Ia mulai memainkan peran penting dalam gerakan reformasi dari tahun 1972, ketika terjadi pemberontakan di Udiapur. Asghar telah menulis beberapa artikel tentang gerakan reformasi di beberapa Koran India terkemuka seperti The Times of India, Indian Expres, Statesman, Telegraph, the Hindu, dan sebagainya. Ia terpilih dengan suara bulat sebagai sekretaris umum dewan pengurus pusat masyarakat Dawoodi Bohra dalam konferensi yang pertama di Udiapur pada tahun 1977. Ia mencurahkan waktu dan pikirannya demi urusan besar pada waktu itu, yaitu gerakan reformasi dan menginternasionalisasikan gerakan reformasi, baik melalui tulisan-tulisan maupun cerama-ceramahnya.
Asghar juga menghasilkan karyas atas masalah yang tak kalah berat, yaitu tentang kekerasan komunal dan komunalisme di India sejak pecahnya kerusuhan besar pertama di Jabalpur, India, pada tahun 1961. Karyanya ini dipertimbangkan sebagai pelopor dan telah diakui oleh Universitas Calcutta yang kemudian menganugrahkan gelar kehormatan (D.Lit.) pada tahun 1983.
Asghar diakui sebagai seorang sarjana Islam terkemuka dan diundang untuk konferensi-konferensi internasional tentang islam oleh berbagai pihak, baik oleh pemerintah maupun Universitas. Asghar juga memberi kuliah di beberapa universitas terkemuka di Amerika, Kanada, Indonesia, Malaysia, Jerman, Perancis, Thailand, Pakistan, Sri Langka, Yaman, Meksiko, Lebanon, Mesir, Jepang, Uzbekistan, Rusia dan sebagainya. Ia juga mengajar di seluruh universitas di India.
Asghar telah menerima beberapa penghargaan atas karya-karyanya tentang pemahaman intrreligius. Ia yakin dengan menunjukkan rasa hormat yang sama kepada semua agama dan mempertimbangkan keyakinan beragama sebagai yang sangat penting bagi kehidupan yang bermakna. Bagaimanapun, ia tidak meyakini secara buta dalam menerima dogma-dogma yang diwariskan oleh masa silam. Ia percaya dengan selalu memikirkan ulang (rethinking) isu-isu menginterpretasikan Islam untuk menjaganya dalam konteks waktu yang senantiasa berubah. Menurut pendapatnya, inilah kewajiban kita untuk mendapatkan pelajaran Islam dan merefleksikannya secara lebih mendalam ketimbang hanya membebek secara buta.
Pada hari republic India, Asghar juga diberi penghargaan National Communal Harmoni Award pada tahun 1997 oleh pemerintah India dalam pengakuannya atas karya Asghar dalam mempromosikan harmoni komunal kepada dunia.
Asghar adalah seorang pemikir sekaligus aktivis, dan pemimpin salah satu kelompok Syi’ah Isma’iliyah, Daudi Bohras (Guzare Daudi) yang berpusat di Bombay, India. Dengan otoritas keagamaan yang dimilikinya, Asghar ingin menerapkan gagasan-gagasannya. Ia harus menghadapi reaksi generasi tua yang cenderung konservatif dan mempertahankan kemapanan.
Agar dapat menyingkap latar belakang keagamaan Asghar menjadi lebih jelas,maka penting untuk mengenal terlebih dahulu kelompok Daudi Bohras ini. Para pengikut Daudi Bohras dipimpin Imam sebagai pengganti nabi yang dijuluki Amir al-Mu’minin. Mereka mengenal dua puluh satu Imam. Maulana Abu al-Qasim al-Thayyib adalah Imam mereka yang terakhir yang menghilang pada tahun 526 H. tetapi mereka percaya bahwa ia masi hidup hingga sekarang. Kepemimpinannya dilanjutkan oleh para da’i (dari ungkapan itu berasal dari ungkapan Daudi) yang selalu berhubungan dengan imam terakhir itu. Untuk diakui seorang dai’i tidaklah mudah. Ia harus mempunyai Sembilan puluh empat kualifikasi yang diringkas dalam empat kelompok, yaitu kualifikasi:
1. Pendidikan
2. Administrafif
3. Moral dan teoretikal
4. Keluarga dan kepribadian.
Da’i juga harus tampil sebagai pembela umat yang tertindas dan berjuang melawan kezaliman. Asghar sendiri adalah seorang da’i.
Asghar juga merupakan penulis produktif yang telah melahirkan lebih dari empat puluh buku, diantaranya adalah: The Bohras (1980), Indian-Muslims: A Study of Minority Problem (1984), On Development Theory of Communal Riots (1984), Struggles for Reforms in Bohra Community (1984), Islam and Its Relevance to Our Age (1984), Communal Violenice in Post Independence India (1984), Communalism and Communal Violence (1985), Communalism and Communal Problem in India (1985), Islam and Muslim: Critical Perspectives (1985), The Shah Bano Controversy (1986), Origin and Development of Islam (1986), Ethnic Conflict in South Asia (1987), Status of Women in Islam (1987), Delhi Meerut Riots (1988), The Muslim Communities of Gujarat: The Bohras , Khojas and Memons (1989), Justice, Women and Communal Harmony in Islam (1989), Religious and Liberation (1989), Babri Masjid Ram Janmabbhoomi Controversy (1990), Liberation Theology in Islam (1990,) Communal Riots in Post Independence India (1991),Communalization of Politics and 10th Loksabha Elections (1991), Mandal Commission Controversy (1991), Secular Crown on Fire: Kashmir problem (1991), Sufism and Communal Harmony (1991), Rights of Women in Islam (1992), Lifting the Veil: Communal Violence and Communal Violence and Communal Harmony in Contemporary India (1994), Islam and Revolution (1994), Communalism in India: A Historical and Empirical Study (1995), Karela Muslims: In Historical Perspectives (1995), Gandhiji and Communal Harmony (1997), Rethinking Issues in Islam (1998), Rational Apporoach to Islam (2000), dan sebagainya.
2. Persoalan dan Kegelisahan Akademik
Secara umum, hak-hak perempuan dianggap telah mendapat signifikansi yang kuat dimasa modern, dan khususnya didunia Islam. Namun, secara historis perempuan masih tetap tersubordinasi oleh kaum laki-laki. Sehingga kaum perempuan dimarginalkan (dipinggirkan), perempuan juga dianggap sebagai “jenis kelamin kedua”.
Menurut Asghar, al-Qur’an itu bersifat normatif sekaligus prakmatis. Ajaran-ajarannya memiliki relevansi dengan zaman sekarang. Seharusnya, ajaran-ajaran tersebut tidak diperlukan sebagai ajaran normatif. Sebaliknya, malah harus dilihat dalam konteks dimana ajaran tersebut diterapkan. Ada yang melakukan perempuan secara kasar, tetapi mesti dilihat konteksnya secara proporsional. Misalnya, wanita dibatasi hanya boleh berada didalam rumah laki-laki yang membatasinya. Al-Qur’an memperhitungkan kondisi ini dan menempatkan laki-laki dalam kedudukan yang lebih superior ketimbang perempuan. Tetapi harus dicatat, ujar Asghar, bahwa al-Qur’an tidak mengangap atau menyatakan bahwa suatu struktur sosial bersifat normatif. Struktur sosial pasti dan akan selalu berubah dan jika dalam sebuah distruktur sosial dimana perempuanlah yang menghidupi keluarganya, atau menjadi teman kerja laki-laki, maka perempuan pasti sejajar atau bahkan lebih superior terhadap laki-laki dan memainkan peran dominan dalam keluarga.
Allah tidak membedakan jenis kelamin atau kodrat yang dibawa sejak lahir. Ketidak adilan berasal dari struktur sosial yang menyebabkan superioriatas laki-laki atas perempuan yang inferior. Tetapi perlu dipahami bahwa al-Qur’an juga mengungkapkan pernyataan normatif dengan kata-kata yang tidak ambigu. Al-Qur’an berisi kalimat-kalimat yang normatif dan bersifat transcendental, tapi juga kontekstual yang disesuaikan dengan perubahan ruang dan waktu.
3. Metodologi Berfikir
Keprihatinan dan kegelisahan Asghar mendorong untuk menggugat segala bentuk kemapanan yang menindas dan membodohi kaum yang lemah, sekalipun harus berhadapan dengan pemimpin teras sepiritual. Semangat revolusioner Asghar, cenderung bersifat praksis ketimbang teoritis. Hal itu tampak dari gugatan epistemologis liberatifnya yang terdapat dalam hampir seluruh karyanya terasa meredukasi pemikiran Asghar yang komplek dan plural.
Proyek teologi pembebasan Ashgar lebih menitik beratkan pada aspek praksis daripada teoretisasi metafisik-teologis yang tidak jelas mencakup hal-hal yang abstrak dan konsep-konsep yang ambigu. Kecendrungan teologi pembebasan yang demikian tampaknya dipertegas dalam pemaparan Hasan Hanafi
Praksis yang dimaksud adalah sifat liberatif dan menyangkut interaksi dialektis antara “apa yang ada” dan “apa yang seharusnya”. Islam bersifat liberatif, karena menjadi ancaman yang membahayakan bagi status quo atau segala bentuk kemampuan yang mengekploitasi kaum yang lemah.
Dalam pandangan Ashgar, agama mesti dilepaskan dari aspek-aspek teologis yang bersifat filosofis, yang berkembang mencapai puncaknya hingga aspek filosofis ini menjadi bagian utama dari agama yang justru mendukung kelompok penindas, jika agama masih dianggap sebagai kebaikan dan berdiri sepihak dengan revolusi, kemajuan dan perubahan. Pembebasan teologi dilakukan untuk mengembangkan sebuah teologi pembebasan. Teologi pada masa ini cenderung ritualistic, dogmatis dan metafisik yang membingungkan dan dikuasai oleh orang-orang yang mendukung status quo, sehingga agama yang demikian itu disamakan Ashgar dengan mistik dan menghipnotis masyarakat.
Tugas teologi pembebasan adalah membersihkan setiap elemen ini sampai keakar-akarnya. Agama tidak boleh berhenti pada urusan akhirat atau duniawi saja, tetapi juga harus menjaga relevasinya. Historisitas dan kontemporerisitas agama disatu pihak, serta urusan akhirat dan duniawi dipihak lain, harus disatukan sehingga menjadi sebuah agama yang hidup dan dinamis. Ashgar sangat kecewa melihat agama yang hanya berupa segenggam ritual yang tidak memiliki ruh, tidak menyentuh kepentingan kaum tertindas dan para pekerja kasar, serta hanya menjadi latihan intelektual dan metafisik atau mistik yang abstrak bagi kalangan kelas menengah. Agar tidak melanggengkan kemapanan, ritual yang tidak memiliki ruh keagamaan dan juga abstraksi dan metafisik ini harus disingkirkan dari agama. Agama harus menjadi sumber motivasi bagi kaum tertindas untuk mengubah keadaan mereka dan menjadi kekuatan spiritual untuk mengkomunikasikan dirinya secara signifikan dengan memahami berbagai aspek spiritual yang lebih tinggi dari realitas ini.
Menurut Ashgar, teologi pembebasan adalah:
a. Mesti dimulai dengan melihat kehidupan manusia di dunia dan akhirat
b. Anti status quo yang melindungi golongan kaya (the haves) daripada golongan miskin (the haves not), dan nanti kemapanan baik agama maupun politik
c. Pembela kelompok yang tertindas dan tercabut hak miliknya, serta memperjuangkan kepentingan mereka dan membekali mereka dengan senjata ideologis yang kuat untuk melawan para penindas
d. Disamping mengakui satu konsep metafisika tentang takdir dalam rentang sejarah umat Islam, juga konsep bahwa manusia itu bebas menentukan nasibnya sendiri.
Teologi pembebasan mendorong pengembangan praksis Islam sebagai hasil tawar menawar antar kebebasan manusia dan takdir. Teologi pembebasan lebih mengaggap keduanya sebagai pelengkap daripada sebagia konsep yang berlawanan
4. Istilah kunci
Istilah-istilah teknis yang digunakan dalam pembebasan kaum perempuan adalah:
1. Praksis
2. Liberatif
3. Status quo
4. Teoretisasi
5. metafisik-teologis
6. Revolusi dan
7. Kontemporerisitas
5. Sumbangan Keilmuan Islam
Konsep hudud (hukuman) mengundang banyak polemik dan kontroversi. Hudud disebutkan oleh al-Qur’an untuk masalah zina, mencuri (sariqa) dan qadif. Bagi pezina, hukumannya adalah cambuk seratus kali, mencuri dipotong tangan, dan qadif dicambuk sebanyak delapan puluh kali. Dalam yurisprudensi Islam, hukuman tersebut diistilakan dengan hadd. Secara literal, hadd berarti batas, batasan atau faktor yang membatasi. Hukuman ini membatasi tindak kejahatan, dan karenanya hukuman itu disebut hudud. Sedangkan tindak kejahatan yang menyebabkan cidera fisik, maka al-Qur’an menyebutnya sebagai masalah qisas, yaitu hidup dibayar dengan hidup, mata dengan mata, gigi dengan gigi.
Asghar mengatakan bahwa selama ini Negara-negara Islam fundamentalis telah mencampakkan nilai-nilai filosofis Islam dan cenderung menerapkan hudud ini secara mekanis. Negara-negara ini tidak cukup memiliki pemahaman dan kesadaran untuk menerapkan hudud dalam persepektif filosofis dan spiritual yang tepat. Keuntungan politik lebih diutamakan daripada manfaat spiritualnya. Yang dipikirkan hanyalah kepentingan politik daripada mempedulikan kehidupan dunia dan akhirat.
Asghar menegaskan bahwa hukuman ini bisa menjadi malapetaka bila harus diterapkan dalam masyarakat yang plural. Hukuman yang diterapkan di Negara Islam tampak sangat barbarian jika dipandang oleh benua luar. Oleh sebab itu, Asghar ingin menekankan pentingnya landasan filosofis hukum islam sesuai al-Qur’an dan Hadits. Hukuman Islam dan hudud hanya berlaku dalam masyarakat yang telah menerapkan keadilan distributif, kesetaraan antar jenis kelamin dan sesama manusia serta keadilan secara umum. Dalam keadilan distributif, penimbunan kekayaan, kekeyaan yang didasarkan atas produksi dalam masyarakat indusri, dan atas perdagangan sangat dikecam. Bagi Asghar, masyarakat harus secara ketat melaksanakan keadilan distributif. Nabi Muhammad Saw, dan empat khalifah sesudanya, telah melakukan yang terbaik untuk merestrukturisasi masyarakat yang didalamnya terjamin keadilan distributif. Nabi tidak pernah menerapkan hukum potong tangan secara mekanis tanpa pertimbangan yang matang. Di satu sisi, seorang pencuri buah yang kelaparan dan bodoh, tidak harus dipotong tangan, sebaliknya Nabi malah memberinya makanan. Sedangkan pemilik kebun buah, sebagai pemilik alat-alat produksi, sebenarnya mempunyai tugas untuk membagi-bagikan kelebihan hartanya untuk meciptakan keadilan sosial dan menghapuskan kelaparan dan kebodohan.
Asghar membedakan dua jenis kejahatan:
a. Kejagatan yang disebabkan oleh kebutuhan mendesak, dan
b. Kejahatan yang disebabkan oleh sifat pongah.
Yang pertama didesak oleh kebutuhan, misalnya kelaparan atua sakit, pelakunya tidak boleh dihukum, atau dikenakan hukuman yang sangat ringan tergantung pada kondisinya. Sebaliknya, kejahatan yang disebabkan oleh watak jahat, seperti merampok, menjual obat-obatan terlarang, perdagangan gelap, lintah darat menimbun harta, dan menipu, maka kejahatan ini bukan hanya mengganggu kepentingan pribadi, tetapi juga kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Pelakunya telah menyebabkan kerusakan sistem ekonomi.
Selanjutnya, sikap kontroversial Asghar juga tampak dari ketegasannya untuk menolak hukuman rajam bagi pelaku zina dan mengatakan bahwa hukuman itu tidak benar. Ia juga menegaskan bahwa al-Qur’an tidak mungkin menghukum pezina dengan melemparinya dengan batu hingga mati. Pelemperan itu merupakan hukuman bagi pezina yang sudah menikah yang diterapkan orang-orang Yahudi sebelum Islam. Nabi memang pernah memberi hukuman rajam bagi sepasang pezina Yahudi, padahal mereka telah menikah.
Asghar membedakan antara arti zina dalam bahasa Arab sebagai hubungan seks diluar nikah, dan hubungan seks diluar nikah yang dilakukan oleh oleh orang yang sudah menikah. Hubungan seks diluar nikah tidak dibeda-bedakan dalam bahsa Arab. Yang ada hanya hubungan seks dengan kekerasan yang disebut zina bil jabr. Oleh sebab itu, hakim memberikan hukuman yang lebih berat kepada pezina yang sudah menikah daripada yang belum, dengan alasan:
a. Bagi orang yang sudah menikah, lembaga pernikahan telah memberikan kesempatan yang cukup untuk menyalurkan hasrat seksualnya.
b. Zina yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah merusak lembaga pernikahan, dan
c. Zina merusak perjanjian yang mengikat kedua pasangan suami istri untuk saling setia dalam hubungan seksualnya.
Hakim-hakim Islam telah menyusun pokok-pokok pengadilan. Hampir seluruh ahli al-Qur’an, kecuali dari golongan Khawarij dan Mu’tazilah, tegas-tegas mengatakan bahwa hukum rajam tidak sejalan dengan ajaran al-Qur’an. Hukuman rajam hanya didasarkan pada hadits-hadits yang terkenal, seperti yang diriwayatkan Bukhari, Muslim dan Nasa’i.
Asghar mengatakan bahwa, jika turunnya ayat tentang zina ini ditelusuri, jelaslah bahwa Allah tidak bermaksud menjadikan rajam sebagai hukuman. Barangkali, taubat dianggap jalan keluar yang paling baik, karena Allah maha penerima taubat. Jika Allah bermaksud merajam orang yang berzina, seharusnya dinyatakan secara langsung dalam al-Qur’an sebagaimana lazimnya hukuman bagi tindak kejahatan yang lain. Tetapi Allah tidak berkehendak memberi hukuman yang kejam. Islam adalah agama yang firah yang tidak menyepelakan peran nafsu seks yang kuat dalam diri manusia. Al-Qur’an mengawasi penyelewengan nafsu seks atau amoralitas seks dengan kecaman moral dan anjuran taubat dari lubuk hati, lalu diterapkan hukuman cambuk seratus kali di depan umum sehingga diharapkan dapat mencegah penyelewengan seks. Tetapi Allah tidak mungkin menetapkan hukuman pelemparan batu hingga meninggal.
Asghar menegaskan bahwa hukuman rajam dalam Islam harus dipikirkan ulang secara serius. Konteks sosial dan kondisi masyarakat harus dipertimbangkan untuk menerapkan hukuman-hukuman yang disebutkan dalam al-Qur’an terhadap orang-orang yang melanggar batas moral. Pada umumnya, orang-orang perkotaan sudah sangat terbaratkan, sehingga aturan moral didalamnya sangat renggang. Parahnya, kaum perempuan telah direduksi menjadi sekedar obyek penyelewengan seksual melalui industri periklanan yang menjual barang-barang kepada konsumen yang diproduksi oleh kaum kapitalis yang haus akan keuntungan. Selain itu, karena adanya pengaruh feodalisme, kaum perempuan direndahkan martabat mereka dan lebih sering menjadi sasaran tindak kekerasan kaum laki-laki. Dalam masyarakat feudal, perempuan secara umum dianggap lebih rendah dari laki-laki yang harus memenuhi hasrat seksualnya. Pengaruh feodalisme ini merasuk sangat kuat, bahkan dalam kelas atas terdidik, seorang perempuan tidak memiliki dirinya sendiri, dia harus hidup dalam dunia laki-laki.
Sebenarnya perinsip dasar yang ditekankan dalam Islam adalah menciptakan masyarakat yang dilandasi moralitas yang adil dan dinamis. Hukuman berada pada posisi kedua. Setealah amar ma’ruf (perintah kepada kebaikan), kemudian baru nahi munkar (larangan berbuat zalim). Tetapi, kita telah menempatkan hukuman pada prioritas utama dan mengaku sebagai masyarakat Islam yang menerangkan hudud. Bagi Asghar, ini sepenuhnya bertentangan dengan al-Qur’an dan ajaran-ajaran moral, serta lebih sering dilakukan untuk memperhatahankan status quo daripada menegakkan Islam.
0 Response to "Tokoh Pembaharu Islam Asghar Ali Engineer"
Posting Komentar