Yurisprudensi Pernikahan Beda Agama
A. Pengertian Yurisprudensi Pernikahan
1. Yurisprudensi
Yurisprudensi berasal dari “iuris prudential” (Latin), “Jurisprudentie” (Belanda), “jurisprudence” (Perancis) yang berari “ Ilmu Hukum” (Black’s law dictionary, edisi II, 1979).
Dalam system common law, yurisprudensi diterjemahkan sebagai , : Suatu ilmu pengetahuan hukum positif dan hubungan-hubungannya dengan hukum lain”. Sedangkan dalam system statute law dan civil law, diterjemahkan sebagai “Putusan-putusan Hakim terdahulu yang telah berkekuatan hukum tetap dan diikuti oleh para hakim atau badan peradilan lain dalam memutus perkara atau kasus yang sama” Di lingkungan Peradilan Agama, yurisprudensi kerap digunakan oleh hakim untuk memutus suatu perkara terutama perkara perceraian atau perkara-perkara perdata agama Islam yang terkait dengan perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sebagaimana yang telah ditentukan Undang-Undang baik kepada pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, atau Mahkamah Agung untuk tingkat kasasi .
2. Pernikahan
Pernikahan merupakan ikatan yang amat suci dimana dua insan yang berlainan jenis dapat hidup bersama dengan direstui agama, kerabat, dan masyarakat. Aqad nikah dalam Islam berlangsung sangat sederhana, terdiri dari dua kalimat “ijab dan qabul”. Tapi dengan dua kalimat ini telah dapat menaikkan hubungan dua makhluk Allah dari bumi yang rendah ke langit yang tinggi. Dengan dua kalimat ini berubahlah kekotoran menjadi kesucian, maksiat menjadi ibadah, maupun dosa menjadi amal sholeh.
Jadi bisa disimpulkan bahwa Yurisprudensi Pernikahan ialah putusan hakim terdahulu mengenai pernikahan yang dijadikan rujukan oleh hakim sakarang dalam memutuskan perkara yang belum ada hukumnya.
B. Proses Terbentuknya Yurisprudensi Tentang Pernikahan Campuran
Di Negara kita sebenarnya orang-orang telah banyak yang melakukan pernikahan campuran (beda agama) tapi, proses pernikahannya dilakukan di luar negeri, dengan alasan penolakan dari pihak Catatan sipil hingga Pengadilan, yang seharusnya mencari solusi hukum yang tepat bagi mereka, malah terabaikan padahal mereka juga statusnya adalah warga Negara Indonesia yang mempunyai priograsi dan perlindungan hukun yang layak dan sesuai. Pada tahun 1986 , mulailah hakim mencari solusi tentang hal ini dan mencoba untuk menemukan hukum baru yang bersifat yurisprudensi yang pada kesempatan ini akan abarkan terkait dengan putusan hakim tersebut.
U.U. No. 1 tahun 1974 tidak memuat suatu ketentuan apapun yang merupakan larangan perkawinan karena perbedaan agama, yang mana adalah sejalan dengan pasal 27 U.U.D 1954 yang menentukan segala warga Negara bersamaan kedudukannnya didalam hukum, tercangkup didalamnya kesamaan hak asasi untuk kawin sesame warga Negara sekalipun berlainan agama. Asas ini adalah sejalan dengan pasal 29 U.U.D 1954 tentang dijaminnya oleh Negara kemerdekaan bagi setiap warga Negara untuk memeluk agamannya masing-masing.
Dengan tidak diaturnya perkawinan antar agama didalam U.U no. 1tahun 1974 dan disegi lain U.U produk colonial walaupun mengatur perkawinan antara orang-orang yang tunduk kepada hukum yang berlainan namun karena U.U tersebut tidak mungkin dapat dipakai karena perbedaan prinsip maupun falsafah yang amat lebar antara U.U No.1 tahun 1974 maka menghadapi kasus a quo terdapat kekosongan hukum. Disamping adanya kekosongan hukum maka juga didalam kenyataan hidup di Indonesia yang masyarakatnya bersifat pluraristik/heterogen tidak sedikit terjadinya perkawinan antar agama, maka Mahkamah Agung berpendapat bahwa tidaklah dapat dibenarkan kalau karena kekosongan hukum maka kenyataan dan kebutuhan social seperti tersebut diatas dibiarkan tidak terpecah secara hukum karena membiarkan masalah tersebut berlarut-larut pasti akan menimbulkan dampak positif disegi kehidupan bermasyarakat maupun bernegara, maka Mahkamah Agung berpendapat haruslah dapat ditemukan dan ditentukan hukumnya.
Bahwa menurut ketentuan pasal 2 ayat (1) dan (2) U.U. No. 1 tahun 1974 pegawai pencatat untuk perkawinan menurut agama islam adalah sebagaimana dimaksud dalam U.U No.32 tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk sedangkan bagi mereka yang beragama selain islam adalah pegawai pencata perkawinan pada kantor Catatan Sipil. Dengan demikian bagi pemohon yang beragama islam dan yang akan melangsungkan perkawinan dengan seorang laki-laki yang beragama Kristen tidak mingkin melangsungkan pernikahan dihadapan pegawai pencatat nikah, talak dan rujuk. Oleh karenanya perlu ditemukan jawaban apakah mereka dapat melangsungkan perkawinan dihadapan pegawai pencatat pernikahan pada kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya kemungkinan, sebab diluar itu tidak ada kemungkinan lagi untuk melangsungkan pernikahan.
Didalam kasus ini pemohon yang beragama islam telah mengajukan permohonan untuk melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang beragama Kristen kepada kantor catatan sipil dijakarta, harus dutafsirkan bahwa pemohon berkehendak untuk melangsungkan perkawinan tidak secara islam dan dengan demikian haruslah ditafsirkan pula bahwa pemohon sudah tidak menghiraukan lagi status agamannya, sehingga pada 8 sub f U.U. No.1 tahun 1974 tentang perkawinan tidaklagi merupakan halangan untuk dilangsungkannya pernikahan yang mereka kehendaki.
dalam hal yang demiian seharusnya kantor catatan sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan pernikahan yang kedua calon suami isteri tidak beragama Islam wajib menerima permohonan pemohon.
Sekalipun pemohon beragama islam dan menurut ketentuan pasal 63 ayat (1) a UU No. 1 tahun 1974 dinyatakan bahwaa apabila diperlukan campurtangan Pengadilan Agama, namun karena penolakan melaksanakan perkawinan didasarkan pada perbedaan agama maka jelas bahwa alsana penolakan tersebut tidak merupakan larangan untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana dimaksudkan pasal 8 U.U. No.1 tahun 1974 dan karena kasus a quo bukan merupakan kasusu seperti dimaksudkan oleh pasal 60 ayat (3) U.U. No.1 tahun 1947, maka sudahlah tepat apabila kasus a quo menjadi kewenangan Pengadilan Negeri dan bukan Pengadilan agama.
C. Is
D. Pandangan Islam Terhadap Pernikahan Campuran
Dalam pandangan Islam, kehidupan keluarga akan terwujud secara sempurna jika suami-istri berpegang pada ajaran yang sama. Keduanya beragama dan teguh melaksanakan ajaran Islam. Jika keduanya berbeda akan timbul berbagai kesulitan di lingkungan keluarga, dalam pelaksanaan ibadat, pendidikan anak, pengaturan makanan, pembinaan tradisi keagamaan dan lain-lain.
Islam dengan tegas melarang wanita Islam kawin dengan pria non-Muslim, baik musyrik maupun Ahlul Kitab. Dan pria Muslim secara pasti dilarang nikah dengan wanita musyrik. Kedua bentuk pernikahan tersebut mutlak diharamkan.
Yang menjadi persoalan dari zaman sahabat sampai abad modern ini adalah pernikahan antara pria Muslim dengan wanita Kitabiyah. Berdasar dzahir ayat 221 surat Al-Baqarah. Menurut pandangan ulama pada umumnya, pernikahan pria Muslim dengan Kitabiyah dibolehkan. Sebagian ulama mengharamkan atas dasar sikap musyrik Kitabiyah. Dan banyak sekali ulama yang melarangnya karena fitnah atau mafsadah dari bentuk pernikahan tersebut mudah sekali timbul.
Masjfuk Zuhdi dalam bukunya Masail Fiqhiah berpendapat yang dimaksud dengan “pernikahan antar orang yang berlainan agama” disini ialah pernikahan orang Islam (pria/wanita) dengan orang bukan Islam (pria/wanita). Mengenai masalah ini, Islam membedakan hukumnya sebagai berikut :
1. Pernikahan antara seorang pria Muslim dengan wanita musyrik.
2. Pernikahan antara seorang pria Muslim dengan wanita Ahlul Kitab.
3. Pernikahan antara seorang wanita Muslimah dengan pria non Muslim.
Masjfuk menegaskan bahwa Islam melarang pernikahan antara seorang pria Muslim dengan wanita musyrik. Berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221:
“Janganlah kamu mengawini wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang beriman lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu”.
Namun dikalangan ulama timbul beberapa pendapat tentang siapa musyrikah (wanita musyrik) yang haram dikawini itu?. Menurut Ibnu Jarir Al-Thabari, seorang ahli tafsir, bahwa musyrikah yang dilarang untuk dikawini itu ialah musyrikah dari bangsa Arab saja, karena bangsa Arab pada waktu turunnya Al-Quran memang tidak mengenal kitab suci dan menyembah berhala. Maka menurut pendapat ini seorang Muslim boleh kawin dengan wanita musyrik dari bangsa non-Arab, seperti Cina, India dan Jepang, yang diduga dahulu mempunyai kitab suci atau serupa kitab suci. Muhammad Abduh juga sependapat dengan ini. Tetapi kebanyakan ulama berpendapat, bahwa semua musyrikah, baik itu dari bangsa Arab ataupun bangsa non-Arab, selain Ahlul Kitab, yakni (Yahudi dan Nashrani) tidak boleh dikawini.
Maka Masjfuk mengatakan, bahwa hikmah dilarangnya pernikahan antara orang Islam (pria/wanita) dengan orang yang bukan Islam (pria/wanita, selain Ahlul Kitab), ialah bahwa antara orang Islam dengan orang kafir selain Kristen dan Yahudi itu terdapat way of life dan filsafat hidup yang sangat berbeda. Sebab orang Islam percaya sepenuhnya kepada Allah sebagai pencipta alam semesta, percaya kepada para Nabi, kitab suci, malaikat dan percaya pula pada hari kiamat. Sedangkan orang musyrik/kafir pada umumnya tidak percaya pada semuanya itu.
Menurut Masjfuk, kebanyakan ulama berpendapat, bahwa seorang pria Muslim boleh kawin dengan wanita Ahlul Kitab (Yahudi dan Kristen), ini berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 5:
“Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wantia yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi kitab suci sebelum kamu”
Masjfuk menambahkan, bahwa Rasyid Ridha sependapat dengan Jumhur yang membedakan musyrikin/musyrikah disatu pihak dengan Ahlul Kitab (Kristen dan Yahudi) dipihak lain, sesuai dengan pengelompokan yang dibuat oleh Al-Quran, sekalipun pada hakikatnya Ahlul Kitab itu sudah melakukan “syirik” menurut pandangan tauhid Islam. Kaena itu pernikahan antara seorang pria Muslim dengan wanita Kristen/Yahudi diperbolehkan agama, berdasarkan surat Al-Maidah ayat 5, sunnah dan ijma’. Menurut pandangan Masjfuk, hikmah diperbolehkannya pernikahan pria Muslim dengan wanita Ahlul Kitab ialah karena pada hakekatnya agama Yahudi dan Kristen itu satu rumpun dengan agama Islam, sebab sama-sama agama wahyu (revealed religion).
Yang terakhir Masjfuk mengatakan, bahwa ulama telah sepakat, bahwa Islam melarang pernikahan seorang wanita Muslimah dengan pria non Muslim, baik calon suaminya itu termasuk pemeluk agama yang mempunyai kitab suci seperti Kristen dan Yahudi (revealed religion) ataupun pemeluk agama yang mempunyai kitab serupa kitab suci, seperti Budhisme, Hinduisme, maupun pemeluk agama atau kepercayaan yang tidak punya kitab suci dan juga kitab yang serupa kitab suci, termasuk Animisme, Ateisme dan Politeisme.
Tentang status pernikahan wanita muslimah dan pria non muslim disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنّ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka (wanita mukmin) kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (QS. Al Mumtahanah: 10)
Adapun dalil yang menjadi dasar hukum untuk larangan kawin antara wanita Muslimah dengan pria non-Muslim ialah:
a. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221:
“Janganlah kamu mengawini wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang beriman lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu”.
a. Ijma para ulama tentang larangan pernikahan antara wanita Muslimah dengan pria non-Muslim.
Menurut Masjfuk, hikmah dari larangan ini adalah karena dikhawatirkan wanita Islam itu kehilangan kebebasan beragama dan menjalankan ajaran-ajaran agama suaminya, kemudian terseret kepada agama suaminya (non-Muslim). Demikian pula anak-anak yang lahir dari pernikahannya dikhawatirkan pula mereka akan mengikuti agama bapaknya, karena bapak sebagai kepala keluarga, terhadap anak-anak melebihi ibunya. Dalam hal ini Masjfuk menambahkan, fakta-fakta sejarah menunjukkan bahwa tiada sesuatu agama dan sesuatu ideologi di muka bumi ini yang memberikan kebebasan beragama, dan bersikap toleran terhadap agama/kepercayaan lain, seperta agama Islam. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 120 :
“Orang Yahudi dan Kristen tidak akan senang kepada kamu, hingga kamu mengikuti agama mereka”.
Dan Allah berfirman surat An Nisa ayat 141 yang artinya :
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk melenyapkan orang-orang yang beriman”.
Firman tersebut mengingatkan kepada umat Islam hendaknya selalu berhati-hati dan waspada terhadap tipu muslihat orang-orang kafir termasuk Yahudi dan Kristen, yang selalu berusaha melenyapkan Islam dan umat Islam dengan berbagai cara, dan hendaklah umat Islam tidak memberi jalan/kesempatan pada meraka untuk mencapai maksudnya, misalnya dengan jalan pernikahan muslimah dengan pria non Muslim.
0 Response to "Yurisprudensi Pernikahan Beda Agama"
Posting Komentar