Pengertian Wakaf
A. Pengertian Wakaf
Perkataan waqf yang menjadi wakaf dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata kerja bahasa arab wakafa. Secara etimologi waqf berarti berdiri, berhenti atau menahan.
Menurut as-Sayyid Sabiq berakar dari bahasa Arab :
وقف - يقف - وقفا حبس - يحبس - حبسا
Beberapa arti tersebut, arti “menahan” secara konotatif adalah lebih dekat dengan istilah waqf. Artinya, jika “menahan” dihubungkan dengan harta kekayaan, maka yang dimaksud waqf dalam uraian ini ialah menahan sesuatu benda atau kekayaan untuk dapat diambil manfaatnya sesuai dengan ajaran Islam. Jumhur ulama berpendapat hukum wakaf adalah sunnah atau apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa, sedangkan mazhab Hanifah mengatakan hukum wakaf adalah boleh tetapi tidak dianjurkan
Walaupun kata habs merupakan sinonim dari kata waqf, tetapi secara etimologi tidak memiliki perbedaan arti yang signifikan, bahkan sesungguhnya yang lebih dekat dengan arti “menahan” adalah kata habs. Dalam perkembangannya kata habs-ahbas (jamak) menjadi istilah populer di kalangan komunitas Afrika Utara yang kebanyakan dari mereka bermazhab Maliki.
Secara terminologi pengertian waqf terdapat sejumlah pendapat ulama di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Pendapat as-San’ani>, mendefinisikan waqf seabgai berikut
حبس مال يمكن الانتفاع به مع بقاء عينه بقطع التصرف في رقبته على مصرف مباح
2. Asy-Syaukani> dalam kitabnya berjudul, Nail al-Autar, mengemukakan definisi wakaf sebagai berikut:
حبس الملك في سبيل الله تعالي للفقراء وابناء السبيل يصرف عليهم منافعه ويبقي اصله على ملك الواقف
- Abu> Bakar Ja>bir al-Ja>zai’ri> dalam kitabnya yang berjudul Minha>ju al-Muslim, berpendapat sebagai berikut:
الوقف هو تحبيس الاصل فلا يورث ولا يباع ولا يوهب وتسبيل الثمرة لمن وقفت عليهم
4. Definisi dalam kitab al-Iqna>’ fi> Halli al-Fa>z} Abi Syuja’ yang disusun oleh Muhammad Syarbaini> al-Khatib adalah sebagai berikut:
حبس مال يمكن الانتفاع به مع بقاء عينه بقطع التصرف فى رقبته على مصرف مباح موجود ويجمع على وقوف اواوقاف
- Pendapat Imam-imam mazhab adalah;
a. Menurut imam Abu Hanifah.
Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum, tetap milik si wakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan. Berdasarkan definisi itu maka pemilikan harta wakaf tidak lepas dari si wakif, bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan ia boleh menjualnya. Jika si wakif wafat, harta tersebut menjadi harta warisan buat ahli warisnya. Jadi yang timbul dari wakaf hanyalah "menyumbangkan manfaat". Karena itu mazhab Hanafi mendefinisikan wakaf adalah : "Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus tetap sebagai hak milik, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial), baik sekarang maupun akan datang", contohnya seperti wakaf buah kelapa.
b. Menurut imam Malik
Mazhab Maliki berpendapat bahwa mewakafkan sesuatu itu bisa untuk selamanya atau boleh dalam waktu tertentu (temporal) yaitu boleh tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wa>qif, namun wakaf tersebut mencegah wa>qif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya. Perbuatan si wa>qif menjadikan manfaat hartanya untuk digunakan oleh mauquf bih (penerima wakaf), walaupun yang dimilikinya itu berbentuk upah, atau menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti mewakafkan uang.
Wakaf dilakukan dengan mengucapkan lafadz wakaf untuk masa tertentu sesuai dengan keinginan pemilik. Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda itu dari pengunaan secara pemilikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan, yaitu pemberian manfaat benda secara wajar sedang benda itu tetap menjadi milik si wa>qif. Perwakafan diperbolehkan berlaku untuk suatu masa tertentu atau untuk selamanya sesuai niat si wakif.
c. Menurut imam Syafi'i dan Ahmad bin Hambal
Mazhab Syafi'i mendefinisikan wakaf adalah : "Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus sebagai milik Allah swt, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan (sosial).
Berdasarkan pada definisi ini, Syafi'i dan Ahmad berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan. wa>qif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan, seperti perlakuan pemilik dengan cara memindahkan kepemilikannya kepada yang lain, baik dengan tukaran (tukar menukar) atau tidak. Jika wa>qif wafat, harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisi oleh ahli warisnya. Wakif menyalurkan manfaat harta yang diwakafkannya kepada mauquf `alaih (yang diberi wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, dimana wa>qif tidak dapat melarang penyaluran sumbangannya tersebut. Apabila wakif melarangnya, maka Qadli berhak memaksanya agar memberikannya kepada mauquf alaih.
d. Menurut Mazhab Imamiyah
Mazhab lain sama dengan mazhab Syafi’i dan Ahmad Ibn Hambal, namun berbeda dari segi kepemilikan atas benda yang diwakafkan yaitu menjadi milik mauquf alaih (yang diberi wakaf), meskipun mauquf alaih tidak berhak melakukan suatu tindakan atas benda wakaf tersebut, baik menjual atau menghibahkannya.
Pengertian yang dikemukakan oleh para ulama di atas, dapat dilihat bagaimana perbedaannya. Suatu hal yang perlu diperhatikan di sini yaitu perbedaan kecenderungan dalam hal penguasaan terhadap benda yang diwakafkan. Dari definisi di atas, tampak jelas bahwa as-San’ani memandang kepemilikan benda wakaf sama sekali terlepas dari tangan wa>qif. Artinya, antara benda wakaf dan manfaatnya harus menjadi satu kesatuan yang utuh yang tidak lagi menjadi hak milik wa>qif. Sedangkan dalam ungkapan asy-Syaukani, terlihat bahwa benda wakaf tetap menjadi hak milik wa>qif, dan hanya manfaatnya saja yang diambil untuk kepentingan kemaslahatan umum.
Di samping itu, juga terdapat perbedaan tentang tujuan atau obyek yang menjadi sasaran manfaat wakaf. Asy-Syaukani berpendapat bahwa manfaat wakaf diberikan kepada fuqara’ dan ibnu sabil saja. Sedangkan pendapat yang lain lebih memperluas yaitu, tidak hanya ditujukan kepada fuqara>’ dan ibn sabi>l, tetapi juga untuk tujuan suci, yang tujuan keagamaan atau kepentingan umum.
Namun demikian, dari perbedaan tersebut terdapat persamaan prinsip yang pegangi oleh masing-masing ulama yaitu, pengambilan manfaat benda wakaf adalah semata-mata untuk kemaslahatan umum dan orang yang mewakafkan harta bendanya dianggap telah menghentikan harta tersebut dari lalu lintas hukum. Di samping itu, keempat definisi tersebut, masing-masing mengandung pengertian bahwa harta benda yang diwakafkan tidak terbatas pada salah satu benda tertentu saja, melainkan bersifat umum, dengan catatan benda itu harus langgeng dan awet, bukan benda yang langsung habis sekali pakai.
Menurut Prof. TM. Hasbi ash-Shiddieqy dalam bukunya berjudul, Pengantar Fiqh Muamalah, memberikan pengertian wakaf sebagai berikut:
حبس مال عن التملك لتصرف منافعه الي جهة بر
Pengertian yang dikemukakan oleh Hasbi dapat dipahami, bahwa wakaf adalah menahan harta benda milik yang manfaatnya digunakan ke arah jalan kebaikan.
Sedangkan pengertian wakaf menurut PP No.28 tahun 1977 sebagaimana yang tersebut dalam pasal 1 ayat (1) adalah Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.
Pengertian yang terdapat dalam pasal 1 ayat (1) PP. No. 28 tahun 1977 tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa obyek wakaf hanya terbatas pada tanah yang berstatus hak milik, sedangkan kegunaannya hanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan lainnya yang bersifat umum, bukan kepentingan individu.
B. Dasar Hukum Wakaf
Meskipun masalah wakaf ini tidak secara jelas dan tegas tercantum di dalam al-Qur’an, namun tidak jarang ditemukan beberapa ayat yang memerintahkan manusia untuk berbuat baik demi kemaslahatan masyarakat, lebih-lebih umat Islam. Hal itu merupakan suatu hal yang prinsip yang mestinya menjadi landasan hidup bermasyarakat yang salah satu medianya melalui jalur perwakafan, karena amal wakaf—sebagaimana disinggung pada bab I—merupakan salah satu amalan atau perbuatan baik yang berlintas sosial.
Adapun beberapa ayat al-Qur’an yang memerintahkan manusia untuk berbuat kebaikan yang dianggap sebagai dasar perwakafan adalah, antara lain:
1. Surat al-Hajj (22) ayat 77 yang berbunyi:
ياأيها الذين ءامنوا اركعوا واسجدوا واعبدوا ربكم وافعلوا الخير لعلكم تفلحون
- Surat Al-Baqarah (20) ayat 267, yang berbunyi:
لذين ءامنوا أنفقوا من طيِبات ماكسبتم وممآأخرجنا لكم من الأرض ولا تيمموا الخبيث منه تنفقون ولستم باْخذيه إِلآَ أَن تغمضوا فيه واعلموا أَن الله غني حميد
- Surat Ali-Imran (3) ayat 92 yang berbunyi:
لن تنالوا البر حتى تنفقوا مما تحبون وما تنفقوا من شىء فإن الله به عليم
- Surat al-Baqarah (2) ayat 261, yang berbunyi:
مثل الذين ينفقون أموالهم في سبيل الله كمثل حبة أنبتت سبع سنابل في كل سنبلة مائَة حبة والله يضاعف لمن يشآء والله واسع عليم
Dalam sejumlah ayat di atas, dapat dipahami bahwa berbuat kebaikan adalah sangat dianjurkan oleh Allah SWT. Termasuk salah satu dari amal kebajikan adalah membelanjakan harta dijalan Allah, seperti s}adaqah atau wakaf.
Di samping dasar-dasar al-Qur’an sebagaiman yang telah disebutkan di atas, ada beberapa hadis\ yang juga dapat dijadikan landasan amalan wakaf, antara lain yaitu:
1. Hadis\ yang diriwayatkan Oleh Muslim dari Ibnu Umar.
اصاب عمر ارضا بخيبر فاْتى النبي صلي الله عليه وسلم يستاْمره فيها فقال
يا رسول الله اني اصبت ارضا بخيبر لم اصب مالا قط هو انفس عندي منه فما تامرني به؟ فقال رسول الله صلي الله عليه وسلم: ان شئت حبست اصلهاوتصدقت بها. فتصدق بها عمر: انها لا تباع و لا توهب ولا تورث. وتصدق بها في الفقراء وفي القربي وفي الرقاب وفي سبيل الله وابن السبيل والضيف لا جناح علي من وليها ان ياْكل منها بالمعروف ويطعم غير متمول فيه
- Hadis\ riwayat Muslim dari Abu Hurairah :
اذا مات الانسان انقطع عنه عمله الا من ثلاثة-صدقة جارية او علم ينتفع به او ولد صالح يدعوله
Adapun wakaf pertama dalam Islam mula-mula terjadi pada masa Nabi Muhamad SAW. Beliau menganjurkan kepada Umar bin Khatab agar kebun kurmanya di Khaibar diwakafkan untuk kepentingan masyarakat, ini sesuai hadis\ dari Ibnu Umar di atas, dan ini dijadikan dasar hukum wakaf oleh jumhur ulama. s}adaqah ja>riyah adalah menyedekahkan harta yang tahan lama, untuk maksud-maksud kebaikan, yang manfaatnya dapat dinikmati terus menerus meskipun orang yang bersedekah telah meninggal dunia. Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud s}adaqah ja>riyah dalam hadis\ tersebut adalah amal wakaf.
C. Rukun-rukun Wakaf
Suatu akad wakaf dapat dianggap sah secara syara’ harus memenuhi 4 (empat) unsur berikut, yaitu :
- Orang yang berwakaf (wa>qif)
Dalam hal ini wa>qif harus memenuhi syarat-syarat untuk melakukan tabarru’, yaitu melepaskan hak milik dengan ikhlas tanpa imbalan materiil apapun. Orang dikatakan mempunyai kecakapan bertabarru’ apabila ia telah balig, berakal sehat, dan tidak terpaksa.
Menurut PP. No.28 tahun 1977, syarat-syarat wa>qif adalah sebagaimana yang diatur dalam pasal 3 ayat 1 yang berbunyi :
“Badan-badan hukum Indonesia atau orang-orang yang telah dewasa dan sehat akalnya yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum atas kehendak sendiri dan tanpa paksaan dari pihak-pihak, dapat mewakafkan tanah miliknya dengan memperhatikan peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Dari isi pasal 3 ayat (1) tersebut dapat dilihat adanya persamaan dengan hukum Islam mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang berwakaf (wa>qif).
Sedangkan dalam kitab suci syarat orang yang berwakaf (wa>qif) ada empat perkara yaitu:
a. Wa>qif harus merdeka dan memiliki hak penuh terhadap barang yang diwakafkan. Tidak sah wakaf dari seorang budak sahaya dan tidak sah pula mewakafkan milik orang lain atau wakaf seorang pencuri atas barang curiannya.
b. Orang yang berwakaf itu harus berakal sempurna. Tidak sah wakaf orang gila dan orang lemah akalnya disebabkan sakit atau lanjut usia, termasuk juga wakafnya orang dungu karena akalnya dipandang kurang. Kesempurnaan akal dibutuhkan dan bahkan menjadi syarat, karena wakaf termasuk prilaku ekonomi yang memerlukan keharusan akal sehat dan pertimbangan-pertimbangan yang matang.
c. Wa>qif harus cukup umur atau balig. Oleh para Fuqaha’ balig dipandang sebagai indikasi sempurnanya akal seseorang. Oleh karena itu, wakaf anak kecil dianggap tidak sah, baik terlepas apakah ia sudah mampu melakukan transaksi wakaf atau belum.
d. Orang yang berwakaf harus sudah bisa berpikir jernih dan tenang, dan tidak ada tekanan sedikitpun diakibatkan kelalaian atau kebodohan sehingga menyebabkan ia bangkrut, walaupun wakaf tersebut berada di bawah pengawasan wali atau orang yang sudah dewasa.
Mengenai kecakapan bertindak dalam hukum Islam ada dua istilah yang perlu dipahami, yaitu perbedaan istilah ba>lig dan rasyi>d (kematangan pertimbangan akal). Kedua istilah tersebut, mengandung pengertian kematangan pertimbangan akal, sehingga dengan syarat ini si waqif dianggap cukup cakap dan mampu melakukan tabarru’.
2. Harta yang diwakafkan (mauqu>f)
Dalam hal ini benda wakaf harus dapat dimanfaatkan dalam kurun waktu yang berjangka lama, dengan pengertian tidak habis sekali pakai. Wakaf dipandang sah bila harta wakaf memiliki nilai dan merupakan hak penuh si wa>qif. Harta wakaf tersebut, boleh jadi berupa saham yang dapat diperdagangkan, dengan catatan tingkat spekulasinya tidak begitu tinggi. Artinya, jika harta wakaf hendak dikembangkan dalam bentuk perdagangan misalnya, modal harus diperhitungkan sedemikian matang, sehingga dapat menghasilkan keuntungan sesuai yang diharapkan dengan tujuan untuk pengembangan harta wakaf itu sendiri. Sebagai kode etiknya tentu dalam menjalankan modal harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam, agar terhindar dari hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam.
Adapun barang-barang wakaf yang sah diwakafkan menurut as-Sayyid Sabiq adalah tanah, perabot yang bisa dipindahkan, mushaf, kitab, senjata, dan binatang. Demikian juga barang yang boleh diperjual-belikan dan bisa dimanfaatkan dengan catatan barangnya tetap utuh. Sebaliknya, tidak diperbolehkan mewakafkan barang yang tidak boleh diperjual-belikan, seperti barang tanggungan, anjing, babi, dan binatang buas lainnya.
Golongan Malikiyah dan Syi’ah memperbolehkan wakaf benda-benda yang bergerak, sebab menurut mereka wakaf boleh bersifat sementara dan juga boleh untuk selama-lamanya. Demikian pula mazhab Sya>fi’i> dan Hanabilah juga membolehkan wakaf benda yang bergerak, sedang keabadian suatu wakaf bergantung pada sifat benda itu sendiri.
3. Tujuan Wakaf (Mauqu>f ‘Alaih)
Tujuan wakaf berdasarkan pada pemahaman hadis\ Ibnu Umar yang telah disebutkan diatas dapat dipahami bahwa mewakafkan harta itu ditujukan kepada orang fakir, kerabat, untuk memerdekakan budak, pada jalan Allah, orang terlantar dan tamu.
Berdasarkan hadis\ ini, dapat disimpulkan bahwa tujuan wakaf tidak terlepas dari dua hal, yaitu:
a. Untuk mencari keridhaan Allah SWT, termasuk di dalamnya segala macam usaha untuk menegakkan agama Islam, seperti mendirikan tempat-tempat ibadah kaum muslimin, kegiatan dakwah, pendidikan agama Islam, penelitian ilmu-ilmu agama dan sebagainya. Oleh karena itu, harta wakaf tidak dapat diwakafkan untuk keperluan yang bertentangan dengan agama Islam.
b. Untuk kepentingan masyarakat, seperti untuk membantu fakir miskin, terlepas apakah orang muslim atau non muslim, mendirikan sekolah, dan panti asuhan, dan sebagainya.
Sekalipun dalam hadis\ tidak disebutkan secara tegas seluruh tujuan wakaf, namun dapat dipahami bahwa wakaf yang besar pahalanya adalah wakaf dengan tujuan seperti di atas. Para ulama sepakat bahwa wakaf tidak boleh untuk tujuan maksiat, seperti tempat perjudian, tempat pesta dansa, dan perkumpulan-perkumpulan sesat lainnya, karena wakaf menurut kacamata agama Islam tidak mengandung unsur (taqarrut).
Berhubungan dengan tujuan pewakaf selain untuk mencari keridhaan Allah, dia bisa mengarahkan wakafnya kepada dua pilihan yaitu wakaf ahli atau wakaf khairi, penjelasannya sebagai berikut:
Pertama wakaf ahli adalah wakaf yang pada awalnya ditujukan untuk orang-orang tertentu, namun saat pemberi wakaf meninggal, benda wakaf dialihkan untuk kepentingan umum. Hal itu disebabkan apabila penerima wakaf telah wafat harta wakaf, tidak bisa diwarisi oleh ahli waris yang menerima wakaf.
Wakaf ahli ini bisa juga di sebut wakaf dzurri yang kadang-kadang juga disebut wakaf ‘alal aulad. Secara hukum dibenarkan berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik tentang adanya wakaf keluarga Abu Thalhah kepada kaum kerabatnya. Menurut Nazaroeddin Rachmat (1964:40), wakaf ahli banyak dipraktekkan di beberapa negara Timur Tengah.
Setelah beberapa tahun, ternyata praktek wakaf ahli seperti ini menimbulkan permasalahan. Banyak di antara mereka menyalahgunakannya. Misalnya: (1) Menjadikan wakaf ahli itu sebagai cara untuk menghindari pembagian atau pemecahan harta kekayaan pada ahli waris yang berhak menerimanya, setelah wakif meninggal dunia; (2) Wakaf ahli dijadikan alat untuk mengelak dari tuntutan kreditor atas utang-utang yang dibuat si wakif sebelum mewakafkan tanah (kekayaan) nya. Oleh karena itu, di beberapa negara Timur Tengah, seperti Mesir, Maroko dan Aljazair tanah wakaf keluarga telah dihapuskan, karena berbagai pertimbangan.
Kedua, wakaf khairi atau wakaf umum, yaitu wakaf yang diperuntukkan bagi segala amal kebaikan atau kepentingan umum. Jenis wakaf ini seperti yang diterangkan dalam hadist Nabi Muhmmad SAW yang menceritakan tentang wakaf sahabat Umar bin Khaththab. Beliau memberikan hasil kebunnya kepada fakir miskin, ibnu sabil, sabilillah, para tamu, dan hamba sahaya yang sedang berusaha menebus dirinya. Wakaf jenis ini benar-benar ditujukan untuk kepentingan umum.
4. Pernyataan wakaf (sigat wakaf)
Pernyataan wa>qif yang merupakan tanda penyerahan barang atau benda yang diwakafkan, dapat dilakukan dengan lisan atau tulisan. Menurut mazhab Hanafi sigat wakaf itu hendaknya munjiz, yaitu wakaf telah berlaku setelah sigat wakaf selesai diucapkan. Jika pernyataan wakaf itu mengandung pengertian bahwa wakaf itu berlaku setelah waqif meninggal dunia, maka sigat yang demikian bukan wakaf, tetapi termasuk wasiat, atau dinyatakan bahwa berlakunya hukum wakaf itu digantungkan pada masa yang akan datang, seperti pernyataan seseorang: “Saya wakafkan tanah milik saya tanggal satu bulan depan”. Wakaf tersebut diragukan keabsahannya, karena manusia tidak dapat memastikan apa yang pada dirinya kelak, kemungkinan ia meninggal dunia atau gila, dan sebagainya.
Mengenai pembatasan waktu dalam berwakaf, seperti pernyataan seseorang “Aku wakafkan tanah ini sepuluh tahun” maka mazhab Maliki membolehkan dengan alasan bahwa sesuai dengan hadis\ Ibnu Umar bahwa wakaf itu semacam sedekah, sedangkan setiap sedekah boleh terbatas waktunya. Tetapi menurut mazhab Hanafi, mazhab Syafi>’i>, dan mazhab Zahiri berpendapat bahwa “waktu selama-lamanya” merupakan syarat sahnya wakaf. Dasar pendapat mereka adalah hadis\ Ibnu Umar yang menyatakan bahwa wakaf itu tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan.
Dari pendapat tersebut berarti bahwa apabila wakaf tersebut untuk waktu tertentu saja, maka tidak sah wakafnya. Jika terjadi suatu wakaf, walau tidak disebutkan syarat selama-lamanya, berarti wakaf telah melepaskan haknya untuk selama-lamanya. Ia bukan lagi pemilik harta yang telah diwakafkan itu.
Persyaratan mewakafkan sesuatu dapat dilakukan dengan lisan, baik berupa tulisan maupun isyarat yang dapat memberi pengertian wakaf. Sighat wakaf pada hakikatnya merupakan pernyataan (ikrar) dari si waqif bahwa ia telah mewakafkan hartanya di jalan Allah SWT.
Karena itu, si>gat wakaf tidak memerlukan qabu>l atau pernyataan menerima dari pihak yang menerima. Disamping itu wakaf juga merupakan tabarru’ (pelepasan hak milik tanpa imbalan), dan tabarru’ ini tidak memerlukan qabu>l.
D. Syarat-syarat Wakaf.
Selain rukun-rukun wakaf tersebut di atas, terdapat syarat-syarat wakaf yang menjadi syarat sah amalan wakaf yaitu:
1. Wakaf tidak berlaku untuk batas waktu tertentu, akan tetapi berlaku untuk selama-lamanya. Hal ini disepakati oleh para ulama, kecuali mazhab Maliki dan Abu Hanifah. Jika seseorang mewakafkan tanah dengan dasar waktu lima tahun misalnya, maka wakaf itu dipandang tidak sah.
2. Tujuan wakaf harus jelas, sebagaimana disebutkan di atas. Jika tidak demikian maka wakaf dipandang tidak sah. Namun demikian, apabila seorang waqif menyerahkan tanahnya kepada suatu badan hukum tertentu—yang jelas yang menjadi tujuan adalah usahanya—maka harta tersebut telah menjadi wewenang suatu badan hukum tersebut.
3. Wakaf harus segera dilaksanakan setelah ikrar wakaf dinyatakan oleh wa>qif. Pelaksanaan wakaf tersebut tidak dapat digantungkan kepada suatu peristiwa yang akan terjadi pada waktu yang akan datang. Yang dimaksud ikrar wakaf adalah lepasnya hak milik seketika setelah wa>qif menyatakan sigat wakaf. Lain halnya dengan wakaf yang digantungkan atas kematian seseorang, maka yang demikian itu disebut wasiat. Wasiat wakaf tidak lebih dari sepertiga dari hartanya, selebihnya harus mendapat izin dari ahli waris. Jika terjadi perbedaan maka yang diwakafkan sebatas bagian mereka yang mengijinkan saja.
4. Dengan terjadinya akad wakaf maka hak milik atas mauqu>f adalah menjadi hak milik Allah SWT. Pemilikan wakaf tidak boleh dipindah tangankan kepada siapapun juga, baik lembaga hukum maupun negara. Negara hanya boleh ikut serta dan andil mengawasi atas pemanfaatan dan perlindungan harta wakaf
Khusus dalam pelaksanaan perwakafan tanah, unsur dan persyaratan yang harus dipenuhi menurut Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1877, adalah sebagai berikut:
1. Wa>qif yaitu, orang yang mewakafkan tanah miliknya.
2. Ikrar yaitu, pernyataan kehendak si waqif untuk mewakafkan tanah milikya.
3. Naz}i>r yaitu, kelompok orang atau badan hukum yang diberi amanah untuk memelihara benda wakaf.
4. Saksi yaitu, orang yang menyaksikan serah terima wakaf.
5. Mauquf> yaitu, benda atau barang yang diwakafkan.
Adapun masalah saksi dalam perwakafan yang berlaku dalam hukum positif adalah merupakan suatu ketentuan yang harus dipenuhi. Dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 Bab III pasal 9 ayat (4) tercantum peraturan sebagai berikut: “Pelaksanaan ikrar, demikian pula perbuatan akta ikrar wakaf dianggap sah, jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi”.
Dengan demikian, benda yang akan diwakafkan adalah merupakan syarat pokok dalam pelaksanaan wakaf (perwakafan), karenanya benda wakaf harus merupakan hak milik penuh. Benda wakaf yang hanya memiliki hak guna bangunan, guna usaha dan pakai, tidak dapat dijadikan benda wakaf, karena harta wakaf tersebut tidak mempunyai sifat kekal sebagaimana syarat wakaf yang harus berlaku untuk selama-lamanya.
25 Mei 2021 pukul 17.55
Lengkap banget Jasa Pembuatan Toko Online serta Cara Promosi Online Shop dan Cara Promosi di Instagram dan Cara Promosi Produk juga Cara Berjualan Online dan Cara Berdagang Online serta
Grosir Jilbab Murah serta Jilbab Instan Terbaru dan Jilbab Segi Empat Terbaru
Jasa Pembuatan Web Murah Berkualitas.