Tokoh Pembaharu Islam Qasim Amin

I. Biografi Tokoh

Ketika kita mengkaji pemikiran seorang tokoh, hendaknya kita menguraikan terlebih dahulu latar belakang kemunculan gagasan-gagasannya yang besar karena struktur pemikiran seseorang tidak bisa dilepaskan dari horizon maupun sejarah dan pengalaman hidupnya.

Qasim lahir di sebuah dusun di daerah Mesir dari seorang Ayahnya, yang bernama Amir MuhammadBek, beliau adalah seorang pegawai pemerintah yang sangat concern dengan masa depan anak-anaknya yang berasal dari Turki Utsmani dan ibu berdarah asli Mesir pada awal bulan Desember tahun 1863 M. Karena tuntutan tugas, Amir Bek pindah ke Alexandria. Ia membawa seluruh keluarganya ke kota itu. Di kota inilah Qasim Amin dibesarkan. Sejak kecil ia sangat tekun dalam belajar . Setelah menamatkan Sekolah Dasar di Alexandria, keluarganya hijrah ke Kairo. Pada tahun 1881, ia mencapai gelar licance dari Fakultas Hukum dan Administrasi dari sebuah akademi. Pada waktu itu, Qasim Amin masih berumur 20 tahun. Semasa kuliah ia sudah berkenalan dengan seorang tokoh pembaru Muslim, Jamaluddin Al-Afghani, dan aliran-aliran pemikirannya yang memang berkembang di Mesir pada saat itu.

Dengan bekal gelar licance-nya ia bekerja sebagai pengacara pada sebuah kantor milik Musthafa Fahmi Basya, seorang pengacara besar pada saat itu yang memang sudah memiliki hubungan baik dengan orang tua Qasim. Melalu perantara kantornya, Qasim berkesempatan untuk melanjutkan studi di Perancis atas sponsor dari Musthafa Fahmi Basya. Dalam masa perantauannya di Paris, di Mesir sendiri pada saat itu terjadi Revolusi Arab yang dipimpin murid-murid Jamaluddin al-Afghani. Revolusi ini berakhir dengan penjajahan Mesir oleh tentara Inggris dan tokoh tokoh revolusi tersebut dihadapkan ke Meja Hijau. Jamaluddin al-Afghani dan muridnya, Muhammad Abduh diasingkan dari Mesir, dan pada akhirnya keduanya menetap di Paris. Di sinilah Qasim kembali menjalin hubungan dengan Al-Afghani dan juga menjadi penerjemah pribadi bagi Muhammad Abduh.

Selayaknya orang asing di kota Paris, ia berusaha untuk bisa berinteraksi dan beradaptasi dengan masyarakat Perancis. Namun karena beliau memiliki kepribadiannya yang mencirikan kepribadian bangsa Timur; pemalu dan tertutup, dan terdapat perbedaan yang sangat jauh antara budaya Perancis dan budaya Mesir, maka ia tidak bisa bergaul dan berinteraksi dengan bebas dan luas. Namun, sebagaimana lazimnya kehidupan mahasiswa dan mahasiswi di kampus, Qasim Amin juga memiliki teman perempuan yang istimewa. Dari kebersamaannya dengan gadis Perancis tadi, disinyalir mulai tumbuh benih-benih kepeduliannya terhadap kaum hawa, yang nantinya membidani perjuangannya di Mesir yang penuh dengan bentuk interaksi sosial yang diskriminatif. Kekasihnya menjadi sumber inspirasi dan penggugah kesadaran bahwa kaum perempuan sebetulnya memiliki kemampuan yang selama ini “tidak pernah difungsikan”.

Sekembalinya dari Paris pada tahun 1885, ia diangkat menjadi hakim. Kariernya sebagai seorang hakim semakin meningkat sehingga pada tahun 1889, ia diangkat menjadi walikota di Bani Suef, sebuah propinsi di Mesir. Dari daerah ini ia memulai pergerakannnya dalam mengadakan perbaikan-perbaikan di segala bidang sosial (ishlâh ijtimâ’î). Jasa-jasanya yang patut diacungi jempol pada saat itu, ia berupaya keras membebaskan para narapida politik.

Tahun 1894, Qasim Amin menikah dengan seorang gadis pilihannya yang masih memiliki darah keturunan Turki, Zaenab Amin Taufiq. Dan pada tahun yang sama ia mulai aktif dalam kegiatan tulis menulis, karya pertamanya lahir, “Al-Mashriyyûn” (Les Egyptiens) dengan menggunakan bahasa Perancis. Buku ini adalah counter terhadap tulisan seorang tokoh Perancis, Duc D’harcouri, yang mengecam realitas sosio-kultural masyarakat Mesir. Karya perdana ini rupayanya bisa menggenjot kreatifitas Qasim Amin dalam dunia tulis-menulis. Selanjutnya lahir karya-karya Qasim Amin yang menjadi magnum opus-nya, yaitu, “Tahrîr al-Mar’ah’” (Pembebasan Perempuan) terbit pada tahun 1899 dan “Al-Mar’ah Al-Jadîdah” (Perempuan Modern) yang terbit tahun 1900.

II. Persoalan dan Kegelisahan Akademik

Perempuan adalah merupakan bagian dari perkembangan peradaban. Akan tetapi, kaum perempuan selalu diterbelakangkan dalam bidang apapun. Seperti halnya, dengan kekuatan ke pendetaan, hak istimewa para bangsawan dan konstitusi para monarkhi (raja) dalam penguasaan. Hal ini dapat memberikan implikasi bahwa perempuan tidak sederajat dengan laki-laki. Yang mana diasumsikan bahwa perempuan memiliki defisiensi mental, status rendah dalam agama, dan hanya diperankan sebagai penggoda dan pusat hawa nafsu syetan. Secara ringkasnya, mereka adalah orang “panjang rambutnya, tapi pendek pikirannya” yang diciptakan seperti tanpa alasan lain hanyalah untuk melayani laki-laki saja.

Kaum perempuan telah hidup dengan bebas pada periode-periode pertama dalam sejarah, saat huumanitas masih dalam masa perkembangannya. Dengan adanya formasi institusi keluarga, perempuan jatuh pada perbudakan yang nyata. Ketika humanitas memulai perjalanannya menuju jalan peradaban, perempuan mulai mendapatkan haknya. Walaupun begitu, masih menjadi subjek tirani laki-laki, sebab laki-laki masih menghendaki perempuan, hanya bias menikmati haknya jika laki-laki member ijin padanya untuk mendapatkan hak tersebut.

Dan perempuan Mesir saat ini (masa Qasim Amin) berada dalam tahap ketiga, yaitu pembangunan yang berhubungan dengan sejarah. Perempuan mesir dalam pandangan Syari`ah dianggap sebagai free person dengan hak resposibilitas yang spesifik. Meskipun begitu, ia bukanlah perempuan yang bebas di mata kepala keluarganya yang bersikukuh mencabut legalitas haknya. Situasi ini merupakan konsekuensi despotisme politik (semena-mena) pada masa itu.

Secara ringkas, persoalan-persoalan dan kegelisahan yang dilakukan oleh Qasim Amin dapat terfokuskan dalam tiga hal, yaitu :

§ Kebebasan perempuan

§ Responsibilitas perempuan terhadap dirinya sendiri

§ Responsibilitas terhadap keluarganya.

III. Penelitian Terdahulu

Menurut Muhammad Imarah, Muhammad Abduh sebagai guru dan sparing partner Qasim Amin memiliki kontribusi dalam penulisan karyanya, karena pemikiran dan pembaruan yang menjadi subtansi bukunya (tahrir al-mar`ah) sejalan nafas-nafas pembaruan yang dihembuskan Muhammad‘Abduh. Buku Tahrîr Al-Mar’ah bukan seratus persen buah pemikiran Qasim Amin, namun bisa dikatakan karya berdua bersama Muhammad Abduh. Seperti yang dijelaskan buku Tahrîr Al-Mar’ah ini mengandung dua dimensi; agama dan sosial. Muhammad Abduh menulis separo isi buku tersebut yang berkaitan dengan masalah-masalah keagamaan, sedangkan Qasim Amin menulis dimensi sosial budaya yang menjadi keahliannya.

Pemerintah dan warga negara sipil yang diketahui oleh syeh Muhammad Abduh, seorang mufti agung di mesir terlibat dalam pembentukan kembali pengadilan syari`ah. Catatan tentang persoalan-persoalan penting yang dihimpun oleh Syeh Muhammad Abduhatas peranan pengadilan ini mengindikasikan bahwa beberapa aspek dari reformasi ini akan memberi pengaruh pada keluarga di mesir. Statemennya atas poligami merupakan fakta-fakta yang signifikan. Maka dalam hal ini Qasim Amin mengatakan bahwa :

Saya akan menguatkan suara saya untuk menentang poligami diantara orang-orang miskin. Banyak laki-laki miskin memiliki empat,tiga atau dua isteri dan tidak mampu menafkahi isterinya. Ada konflik yang konstan pada finansialitas dan hak-hak suami isteri. Sekalipun ia tidak menceraikan beberapa diantara mereka, konflikpun tetap berlanjut diantara mereka dan diantara anak-anak mereka.

Maka ketika Qasim Amin menjadi juri hakim telah mengadopsi dari undang-undang Syeh Muhammad Abduh sebagai mufti agung dengan pernyataan yang sah, yang dapat diambil oleh pengadilan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. dan hal tersebut dapat memberikan pedoman pada menteri kehakiman dengan beberapa pasal yang dilandaskan pada ilmu hukum malikite. Adapun pasal-pasal tersebut diantaranya :

1. Jika seorang suami menolak untuk memberi nafkah pada isterinya padahal dia mengakui memiliki kekayaan untuk mencukupinya , maka harta miliknya akan digunakan untuk membantu isterinya.jika ia tidak memiliki kekayaan dan tidak mau membantu isterinya, maka hakim akan menyatakan perceraian isterinya dengan segera.

2. Jika suami sakit atau dipenjara lalu tidak mampu untuk membantu isterinya, maka hakim akan memberikan waktu sampai kesembuhannya. Akan tetapi, jika kesembuhan atau penjaranya cukup lama dan takut akan menimbulkan kerugian atau fitnah, maka hakim akan menyatakan istreinya bercerai dengan suaminya.

3. Jika suami lalai dalam waktu yang relatif pendek tanpa meninggalkan bantuan yang mencukupi isterinya, maka hakim akan memberikan tenggang waktunya. Jika suami tetap tidak memberikan nafkah dan tidak hadir untuk memberikan nafkah setelah waktu yang ditetapkan, maka hakim akan menyatakan bahwa suaminya telah mencerainya.

4. Putusan hakim atas perceraian karena ketiadaan pemberian nafkah berhak dibatalkan oleh stu tuntutan pemohon.

5. Jika suami hilang disalah satu negara muslim, dan jika isterinya tidak mendapatkan beritanya, ia dapat mengajukan permohonan pada menteri kehakiman dan ia diminta untuk mengidentifikasikan tempat dimana ia kira-kira menyakininya atau tahu keberadaan suaminya.

Kedua masalah ini, yakni masalah poligami dan perceraian perempuan merupakan persoalan terpenting yang dijelaskan dalam The Liberation of Woman. Dalam hal ini para sarjana dan ahli hukum yang bijaksana, seperti Syeh Muhammad Abduh telah memberikan pemcahan terhadap permasalahan-permasalahan signifikan dan mendukung pada penjelasannya Qasim Amin tersebut.

IV. Metodologi penelitian

Qasim Amin dalam melakukan penelitiannya yaitu dengan menggunakan berbagai pendekatan, diantaranya melalui analisa social, melaui kritik teks yaitu dengan cara reinterpretasi teks dan melalui pemberdayan pendidikan.

  1. Dari Analisa Sosial Menuju Pembebasan dan Pemberdayaan Perempuan

Dalam menyusun tesa-tesa pemikirannya hingga sampai pada suatu hipotesa yang siap disuguhkan, Qasim Amin lebih cenderung menyimpulkan suatu permasalahan
menggunakan piranti-piranti analisa sosial dan data empirik dari interaksinya dengan masyarakat luas yang akhirnya teori dan hipotesanya disajikannya diatas meja kehakiman. Sebagaimana kutipan yang dilakukan Qasim Amin dari Jonh Lynchman seorang hakim di Amerika seperti yang diberitakan tahun 1882 disebuah surat kabar Eropa :

Sebelum perempuan berpartisipasi dalam publik, jarang ditemukan beberapa pertemuan dalam forum tanpa revolver yang tersembunyi. Yang demikian ini bilamana ada perselisihan sepele terjadi, terkadang terselesaikan dengan kematian atau terlukanya orang-orang yang hadir. Dan lagi anggota juri (hakim) dalam banyak kasus memberikan keputusan tidak bersalah atas orang yang telah melakukan kejahatan. Partisipasi perempuan dalam kewajiban seorang juri (hakim) memberikan hukuman terhadap kesalahan yang dilakukan seseorang. Situasipun berubah berkenaan dengan adanya hukuman bagi orang yang bermabuk-mabukan, berjudi yang melanggar peraturan lain. Salah satu konsekuensi kehadiran perempuan pada pertemuan ini adalah tentang permintaan yang dominant, kepantasan dan martabat dalam kerja.

Partisipasi perempuan dalam politik bukan menyebabkan mereka mengabaikan tanggungjawab rumah tangga mereka. Realitanya saya tidak menyadari ada salah seorang suami yang mengeluhkan keasyikan isterinya dengan permasalahan-permasalah publik dari pada urusan rumah tangganya. Sayapun menyaksikan beberapa pertentangan publik antara suami dan isteri yang disebakan perbedaan politik, meskipun saya tahu ada beberapa keluarga dimana suami mendukung satu partai politik saat isterinya mendukungnya pula.

Disaat Qasim sebagai hakim dan tokoh masyarakat pada waktu itu nampaknya lebih memberikan kesempatan baginya untuk mengadakan pembaruan di bidang social kemasyarakatan. Qasim juga merupakan salah seorang yang memberikan kontribusi besar terhadap teori-teori sosial. Namun, syarat utama suatu teori sosial, adalah, teori tersebut harus sesuai dengan kemaslahatan umat manusia. Artinya, teori-teori sosial tersebut harus fleksibel, elastis, dan nisbi.Dengan kata lain, teori sosial-sosial tersebut­ termasuk di dalamnya norma-norma agama tidak boleh absolut, statis dan “otoriter”.

  1. Pembebasan Perempuan melalui Kritik Teks

Pembebasan adalah merupakan agenda terdepan sebelum pemberdayaan. Maka dalam hal ini Qasim Amin melakukan reinterpretasi pada teks spesikasinya tentang cadar (hijab) dan poligami dengan melihat segi kontekstualnya teks tersebut.

Sebelum terlalu jauh membicarakan masalah hijab, mungkin ada baiknya jika kita
mencoba mengetahui terlebih dahulu pemahaman Qasim tentang makna hijab ini.

Menurut Qasim Amin hijab mempunyai dua makna. Pertama, hijab secara makna hakiki, berfungsi menutup aurat perempuan hingga wajah dan telapak tangan (penutup wajah disebut niqâb [cadar]). Bagi masyarakat Mesir pada waktu
itu, hijab dalam makna di atas dianggap sebagai syariat Islam. Kedua, adalah hijab dalam makna majazi, yaitu “penjara” kaum perempuan dalam rumahnya sendiri. Selain memaparkan makna hijab sesuai dengan “idelogi” masyarakat Mesir di atas, Qasim juga mencoba membuat analisa dan studi kritik tentang hijab ini
dari dua sudut pandang; agama dan sosial.

Cadar yang semula dimaksudkan hanya untuk isteri, akhirnya diberiakn pada anak perempuan, saudara perempuan, dan diharuskan pada semua perempuan, karena setiap perempuan adalah isteri yang telah menjadi isteri atau yang akan menjadi isteri. Memakai cadar adalah symbol kepemilikan masa lampau, dan salah satu sisa tingkah laku jahiliyah yang memberi karakter pada generasi selanjutnya. Dan itu telah ada sebelum disadari bahwa seseorang seharusnnya tidak menjadi harta milik dengan cara yang simple sebab ia adalah perempuan, seperti orang-orang kulit hitam yang seharusnya tidak menjadi budak orang kulit putih.

Dalam perjalanan sejarah masyarakat Timur, hijab bagi kaum perempuan sangat memainkan peranan penting dalam membentuk sistem sosial yang ada. Bahkan sebenarnya hijab bukan saja merupakan ciri khas masyarakat Timur saja. Sejarah telah mencatat, kaum perempuan pada masyarakat Yunani waktu itu juga memakai busana tersebut jika keluar dari rumahnya. Adat ini berlanjut sampai pada abad pertengahan, khususnya abad ke-IX, dan sampai pada abad ke-XIII. Namun, karena keadaan sosiologis yang terus berubah menuju kemajuan dan kemodernan maka adat ini-pun di daerah Yunani dan wilayah Barat lainnya menjadi punah.

Menurut Qasim Amin masyarakat Arab mempunyai pandangan yang “salah kaprah” terhadap hijab ini, sehingga mereka bersikeras mempertahankan tradisi ini. Hijab hanya dianggap sebagai pesan syariat agama. Sehingga agama dijadikan legitimasi atas kewajiban memakai hijab. Padahal, menurut Qasim tidak ada satupun nash-nash sharîh yang mewajibkan pemakaian hijab ini. Menurut Qasim, justru hijab dalam makna masyarakat Mesir di atas lengkap dengan antribut cadarnya yang berpotensi menimbulkan fitnah, sebab, seorang yang memakai hijab cenderung lebih bebas untuk bertindak melanggar sosial tanpa ada rasa khawatir untuk diketahui oleh khalayak ramai. Berbeda dengan seorang perempuan yang tidak menutupi wajahnya, ia akan cenderung menjaga kehormatan pribadi dan keluarganya sehingga lebih berhati-hati dalam bertindak.

Jadi, etika dan perilaku sosial yang terpuji tidak ada hubungannya dengan pemakaian hijab, karena yang lebih menentukan baik atau tidaknya moral seseorang adalah dari nurani dan hatinya, bukanlah dari penampilan lahiriyah.

Pada sisi sosial, Qasim melihat bahwa hijab dalam beberapa hal justru menjadi kendala bagi pemakainya untuk bisa berinteraksi dengan masyarakat luas. Misalnya, dalam hal kriminalitas dan kesaksian dalam pengadilan, kemungkinan untuk melakukan bentuk-bentuk manipulasi terbuka lebar. Akhirnya akan merugikan salah satu pihak dari kedua puhak yang beselisih. Begitu juga dalam bentuk interaksi sosial lainnya, seperti perdagangan dan pertanian. Masyarakatpertanian di pedesaan di mana kaum perempuan sedikit banyak ikut berperan dalam cocok tanam, akan lebih banyak menemukan kesulitan dari pada perempuan yang tidak berhijab. Bahkan secara lebih radikal lagi, Qasim menyatakan bahwa kaum perempuan yang berhijab akan lebih terisolir dari pada kaum perempuan yang menanggalkan hijabnya.

Dalam masalah poligami, Qasim bisa digolongkan ke dalam kelompok yang paling menentang adanya poligami dengan alasan etika kemanusiaan. Poligami menurut Qasim adalah bentuk penghinaan bagi kaum perempuan. Sudah menjadi tabiat asli manusia, seorang perempuan tidak akan pernah rela jika suaminya membagi cinta kepada perempuan lain, demikian halnya sang suami, tidak akan rela jika ada lelaki lain yang ikut mendapatkan bagian cinta istrinya.

Sisi negatif yang disorot Qasim akibat dari poligami ini adalah permusuhan batin antara istri yang satu dengan yang lain, sehingga tidak jarang permusuhan antara mereka diwariskan kepada anak-anak mereka. Karena bisa jadi seorang ibu­ secara
tidak sadar menyulut api permusuhan dan kedengkian antara anak-anak dan keluarganya kepada keluarga dari istri yang lain. Seorang istri yang dimadu dan tidak rela, namun ia berusaha untuk memendam perasaannya akan mengakibatkan akumulasi kekecewaan di bawah alam sadar, dan sewaktu-waktu bisa meledak dan menyulut konflik besar. Persaingan yang terjadi antara mereka adalah persaingan yang tidak sportif, nilai-nilai persaudaraan dan etika kemanusiaan yang seharusnya dipupuk antara sesama manusia, karena poligami ini akan cenderung
dikalahkan oleh api kedengkian dan permusuhan.

Walaupun secara radikal Qasim menentang praktek poligami, namun ia masih memberikan “pengecualian”. Menurutnya, poligami “diperbolehkan” untuk beberapa
kasus, misalnya seorang istri tidak bisa memberikan keturunan kepada sang suami. Namun, menurut Qasim dalam kondisi seperti ini, suami harus bersabar, karena istrinya tiada bersalah dan berdosa, jika suami tetap bersikeras untuk menihak lagi, maka harus sepengetahuan istrinya, jika istri minta cerai, maka suami harus menceraikannya. Selain tujuan-tujuan di atas, poligami adalah bentuk dari pemuasan hawa nafsu dan tanda-tanda dari dekadensi moral.

3. Pemberdayaan Perempuan Melalui Pendidikan

Dalam hal pendidikan, Qasim mengklasifikasikan jenis pendidikan menjadi tiga tingkatan secara berurutan. Pertama adalah pendidikan yang wajib bagi setiap orang demi menjaga kehidupannya sendiri dan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadinya (kebutuhan primer setiap individu). Kedua adalah pendidikan yang bermanfaat bagi keluarganya Ketiga pendidikan yang bermanfaat bagi lingkungan dan masyarakat sekelilingnya.

Selain itu, pendidikan yang bersifat fisik juga penting: perempuan seperti laki-laki, membutuhkan kesehatan yang baik. Oleh karena itu, perlu didorong untuk melatih badan secara tetap, seperti yang dilakukan perempuan Barat yang sering mengikuti kegiatan keperempuanan dalam bidang kesehatan seperti olah raga.

Beralih pada pendidikan moral, hal ini juga penting karena alam telah memilih perempuan untuk menjadi pelindungstandar moral umat manusia.jadi perempuanlah yang bertanggungjawab pada pembentukan pikiran anak pada waktu mereka masih kanak-kanak, saat mereka tidak berdosa dan masih polos.

Selanjutnya, pendidikan intelektual, yaitu study tentang ilmu pengetahuan dan seni.objektivitas ini adalah untuk menjamin seseorang agar terbiasa dengan esensi kehidupan dan tempat didalamnya agar ia bias menunjukkan tingkah lakunya terhadap segala sesuatu yang bermanfaat, menikmati faedah dari ilmu pengetahuan dan hidup dengan bahagia.

V. Istilah-istilah Kunci Dalam Penelitian

Dengan adanya pemfokusan yang diteliti oleh Qasim Amin, maka istilah-istilah kunci yang dibahas adalah sebagai berikut, diantaranya :

· Kebebasan perempuan dan free person

· Responsibilitas perempuan terhadap dirinya

· Responsibilitas perempuan terhadap keluarganya

· Pemaknaan tentang cadar atau jilbab dan poligami dalam teks

· Pendidikan terhadap perempuan

· Seklusi (pemingitan) terhadap perempuan

VI. Sumbangan dalam pengembangan keilmuan Islam

Karya perdananya Qasim Amin yaitu “Les Egyptiens” (Mashriyyûn) yang bersifat konservatif. Karena pada waktu itu, secara sosilogis masyarakat mesir terbelakang, terisolir, drai kemoderan dan kemajuan sebagaimana yang dijelaskan oleh Duc D’harcouri (orang perancis).

Lima Tahun kemudian, 1899, Qasim Amin mengeluarkan salah satu karyanya yang sederhana yaitu Tahrîr al-Mar’ah yangmana karyanya ini sangat bertolak belakang dengan pemikiran sebelumnya. Jika dalam Mashriyyûn beliau sangat
konservatif, anti Barat. Akan tetapi, dalam karyanya yang sederhana ini (Tahrir al-mar`ah) sangat liberal, dan bahkan cenderung berkiblat pada masyarakat Barat untuk melakukan kritik terhadap situasi dan kondisi masyarakatnya pada waktu itu. Pada buku Tahrîr al-Mar’ah ini, Qasim Amin malah mengkritik tradisi hijab dan meminta tradisi tersebut “ditinggalkan” karena tidak ada lagi kemaslahatan di sana. Kemudian pendapat ini dipertegas dan diperkuat dengan karyanya yang ketiga, al-Mar’ah al-Jadîdah,
(Perempuan Modern) sebagai “terminal akhir” dari pikiran-pikirannya.

Maka dapat disimpulkan bahwa karya Qasim Amin ada tiga, yaitu :

a) Les Egyptiens” (Mashriyyûn)

b) Tahrir Al-mar`ah (pembebasan perempuan) terbit pada tahun 1899

c) Al-mar`ah Al-Jadidah (perempuan modern) terbit pada tahun 1900

Simpulan

Qasim Amin hidup sekitar pada abad ke 18 disaat Mesir telah mengalami keterpurukan dan keterbelakangan terutama bagi kaum perempuan muslim yang mana pada saat itu, kaum perempuan masih dipalingkan kaum laki-laki. Perempuan pada saat itu hanya merupakan pelengkap hidup bagi lai-laki terutama mereka kaum perempuan selalu diasumsikan makhluk untuk menuruti hawa nafsu kaum laki-laki. Akan tetapi, kaum perempuan di eropa (perancis) mereka telah maju, maksudnya mereka kaum perempuan lebih diutamakan haknya, dalam arti mereka tidak hanya menjadi pelengkap hidup akan tetapi, juga mempunyai perkembangan dan kemajuan. Nereka juga mendapatkan hak-haknya seperti hak untuk mendapatkan pendidikan dan sebagainya.

Qasim Amin dan Muhammad abduh ketika diusir dari mesir mereka juga pernah hidup di perancis. Disinilah mereka mempunyai pemikiran tentang perkembangan terutama perkembangan kaum perempuan. Oleh sebab, Qasim Amin melihat kondisi social masyarakat mesir yang mana selalu menindas kaum perempuan.

Dengan adanya kondisi masyarakat yang demikian, Qasim Amin mulai merubah dan memperjuangkan hak-hak kaum perempuan dimseir khusunya umumnya perempuan muslim seluruh dunia. Hal ini diawali dengan adanya pemikiran Qasim Amin dengan karyanya Les Egyptiens” (Mashriyyûn) kemudian karyanya yang kedua Tahrir Al-Mar`ah (Pembebasan Perempuan) dan karyanya yang ketiga Al-Mar`ah Al-Jadidah (Perempuan Modern) yang sebagai justifikasi karya sebelumnya.

Dalam hal ini, yang menjadi persoalan dalam penelitian yang dilakukan Qasim Amin yaitu meliputi beberapa hal yang berhubungan dengan perempuan dimesir pada saat itu. diantaranya, yaitu :

Pertama : Kebebasan perempuan yang mana mereka sebelumnya selalu ditindas dan dipalingkan dalam hidupnya

Kedua : Responsibilitas kaum perempuan terhadap dirinya sendiri dan keluarga yang mana mereka kaum perempuan dalam keluarga hanyalah sebagai pelengkap hidup dalam keluarga.

Ketiga: Tentang persepsi cadar (jilbab) yang mereka masyarakat mseir pada saat itu cadar merupakan bagian dari hokum syari`at yang mana tidak boleh dirubah akhirnya persepsi ini menurut Qasim Amin sesuatu yang menghalangi untuk kebebasan perempuan.

Keempat : Tentang poligami. Menurut Qasim Amin poligami adalah merupakan hal yang tidak diperbolehkan dalam syari`ah, karena poligami pada saat itu banyak menimbulkan kekerasan dan penindasan terhadap kaum perempuan terutama bbagi orang-orang miskin yang selalu melakukan kekerasan terhadap perempuan yang disebabkan poligami.

Kelima : Tentang pendidikan perempuan. Perempuan pada saat itu, selalu dipalingkan dalam perkembangan, mereka tidak mendapatkan pendidikan yang layak. Mereka kaum perempuan merupakan taman pendidikan yang pertama kali saat mereka mendidik anak-anak mereka. Maka dengan, itu, mereka juga harus mendapatkan pendidikan pengetahuan yang mana kahirnya dapat meularkan pada anak-anak mereka sebagai genersi penerus.




0 Response to "Tokoh Pembaharu Islam Qasim Amin"

Posting Komentar